Pesatnya perkembangan zaman mulai mengikis nilai
kebudayaan yang tertanam dalam diri setiap individu. Generasi zaman now
sudah mulai terkontaminasi dengan nilai kebudayaan kebarat-baratan. Gengsi
tinggi jika tidak mengikuti perkembangan zaman yang sedang viral dan trending.
Serasa ketinggalan zaman bila tidak ikutan menggandrungi nilai yang secara
intisarinya saja belum dipahami begitu mendalam. Kebudayaan sendiri justru
diabaikan. Jika ditanya tentang kebudayaannya, mereka kebingungan. Budaya
sendiri malah diapresiasi dan diakui sebagai kebudayaan milik bangsa lain. Jika
tidak ada yang melestarikan budaya sendiri, lambat laun kita akan kehilangan
identitas bahkan jati diri kita sebagai bangsa.
Beruntungnya Syarif Hidayatullah, pemuda 24 tahun
keturunan betawi, asal Kampung Dadap, Tangerang. Kerap disapa oleh lingkungan
sekitarnya Bang Arif. Budaya betawi telah mendarah daging didalam dirinya. Hal
ini diyakini didalam dirinya sebagai warisan turun temurun yang mendarah.
Betapa tidak, sejak berusia 3 tahun ia sudah banyak diajari kesenian, adat dan
budaya betawi. Baginya, betawi adalah kehidupannya selama ini. Pijakan dari
masa ke masa hingga akhir hayat menutup mata.
Bukan tanpa alasan Bang Arif begitu mencintai
budayanya, alasannya adalah segala hal dalam budaya betawi adalah kebutuhan
hidup. Ciri khusus yang ia bangun dalam dirinya adalah cara berpakaian yang
tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Dia selalu mengenakan pangsi betawi
kemanapun ia pergi. Sekalipun berangkat kerja, Bang Arif selalu menggunakan
pangsi betawi itu.
Berdasar penelusuran saya mengikuti kisah perjalanan
anak darah betawi ini, ia sempat mendapat teguran keras dari tempatnya bekerja.
Dianggap nyeleneh dan tidak taat pada aturan yang berlaku dalam perusahaan dan
kesepakatan perjanjian kerja. Dengan menjunjung nilai kearifan dan nilai
keluhuran budaya betawi, ia membuka cara pandang yang baru bagi Direkturnya.
Awalnya Bang Arif mengira permasalahan ini hanya akan
berakhir pada surat peringatan atau paling parah di PHK dari perusahaan. Tetapi
kisah malah berbalik menjadikan ia bertemu dengan jajaran orang nomor satu di
perusahaan tersebut. Bang Arif justru mendapat keberuntungan dari sikapnya yang
teguh mempertahankan budayanya. Dia diberikan modal untuk mendirikan Sanggar
Seni Budaya Betawi di wilayah tempat tinggalnya. Mujurnya, ia masih
diperkenankan bekerja di perusahaan tersebut tanpa menghilangkan ciri khusus
didalam dirinya.
Kisah pertemuannya dengan Direktur viral antar
karyawan. Menarik simpati dan empati bagi sebagian besar karyawan. Dia
mendapatkan dana hibah dari karyawan yang lain. Sontak namanya semakin dikenal,
ditambah lagi dengan penampilannya yang nyentrik mengundang banyak perhatian
publik. Seperti artis yang sedang naik daun, karyawan lain juga meminta
berswafoto bersama Bang Arif.
Setelah bekerja selama 6 bulan, Bang Arif akhirnya
memutuskan untuk fokus mengurus Sanggar Seni Budaya Betawi miliknya di Kampung
Dadap, Tangerang. Ia memilih untuk mengabdikan diri pada darah suci yang
mengalir dalam dirinya. Tawaran gaji yang lebih besar sudah sempat terlontar
sebelum pengunduran dirinya. Tetapi ia teguh untuk menjalani kehidupannya
bersama dengan Betawi. Banyak anak negeri yang tidak tahu budaya sendiri. Dia
menanamkan tekad kuat untuk mendidik dan mengajarkan Kesenian Betawi agar tidak
punah dimakan usia dan dimakan lupa.
Bang Arif mengajar tanpa dibayar. Dia lah anak zaman now
yang tak lupa siapa leluhurnya. Generasi milenial yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan
dengan gaya dinamis. Gaya blak-blakan dalam berbicara membuat materi
mudah dipahami oleh murid-muridnya. Malahan ia terkesan humoris dan
menyenangkan. Dengan bantuan dari orang tuanya yaitu seorang penggiat seni
budaya betawi, Bang Arif makin mengembangkan sanggar seni itu bukan hanya di
tempat tinggalnya.
Bang Arif bukan hanya menjadi pengajar tetapi juga
menjadi murid. Dia terbuka terhadap segala kritik dan saran tetapi tetap menjunjung
keluhuran nilai dirinya. Berbekal keahlian yang ia miliki, ia berani tampil
dalam festival seni kancah lokal dan nasional. Agenda tahunannya adalah menjadi
pengisi acara di Pekan Raya Jakarta (PRJ). Dalam Ajang Festival Seni, Bang Arif
selalu bekerja dibelakang panggung. Ia memberikan kesempatan bagi murid-muridnya
untuk tampil didepan. Tak ayal dengan konsepnya yang begitu fantastis mendapat
banyak ajungan jempol dan tepuk tangan yang meriah dari penonton. Dari sini,
saya hanya melihat ia tersenyum menyaksikan kesuksesan para murid-muridnya mendapatkan
penghargaan bergengsi dibidang seni.
Ketika ditanya, mengapa ia menjadi aktor dibelakang
panggung? Padahal jika ia tampil sudah pasti ia yang akan mendapat penghargaan
itu? Bang Arif hanya menjawab dengan senyuman. Ia berlalu dengan jawaban yang
masih mengambang. Tetapi sudah jelas dari situ, Budaya Betawi yang tertanam
dalam dirinya sudah mendarah daging. Ia hanya berbuat bagaimana caranya
mewariskan budaya itu turun temurun bukan untuk mengeruk keuntungan.
Masih dengan Pangsi Betawi berwarna merah dan pecinya.
Bang Arif menuturkan kalimat sederhana tetapi membekas didalam jiwa. “Gue
hidup dari kecil sama Betawi, jadi gue bukan cuma mau menjadi abdi seni. Gue
harus menciptakan anak negeri yang tahu diri, tahu seni”. Sore ini dibawah
rintik hujan, Bang Arif mempersiapkan seperangkat alat kesenian gambang
kromong, tanjidor dan lain-lain. Ditambah beberapa murid diarahkan untuk
mementaskan sebuah lenong betawi sederhana tentang kebaikan manusia yang
berbudi. Disisi lain, ada seorang murid yang sudah mempersiapkam kotak istimewa
berwarna putih dengan pita berwarna merah diatasnya. Didalam kotak tersebut ada
baju Pangsi Betawi lengkap dengan atribut lainnya.
Selang beberapa waktu, mobil mewah terparkir di
Sanggar Seni miliknya. Ternyata, Bang Arif kedatangan tamu. Disambut dengan
pertunjukan seni palang pintu. Dia adalah Direktur yang dulu ia kenal. Meski
sudah tidak bekerja di perusahaannya, Bang Arif tetap menjaga hubungan baik dan
silaturahmi. Dengan jamuan sederhana, kerak telor dan bir pletok buatan ibu
Bang Arif. Direktur itu nampak asik
menikmati pertunjukan lenong dibawah guyuran hujan yang semakin lebat.
Pertunjukan berakhir, hujan reda, mereka berbincang dan Bang Arif memberikan
sebuah persembahan terbaik dari Sanggar Seni Budaya Betawi berupa Pangsi Betawi
yang sama seperti yang ia kenakan.
Sembari berpamitan, Direktur itu menepuk bahu Bang
Arif dan bertutur “tetaplah menjadi anak Betawi milik negeri. Ibu Pertiwi
selalu bangga kepadamu, nak!”.
***
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.