Friday 28 March 2014
Friday, March 28, 2014

JERITAN HATI SANG PEMUAS BIRAHI

JERITAN HATI SANG PEMUAS BIRAHI




Pemuas birahi? Waduh ... Kalo denger istilah ini, kayaknya terkesan nakal ya? hehehe. Seperti yang telah dijelaskan di artikel terkait “Ketika bisnis lendir mulai disindir” dan “Haruskah kami dijual”, telah dipaparkan secara rinci mengenai para pemuas birahi. Oknum terkait masalah pemenuhan kepuasan birahi ini yaitu gigolo, wanita tunasusila, mucikari dan lain – lain.

Pemuas birahi ini, bukan hanya terkait masalah kebutuhan terhadap seks laki – laki dan perempuan maupun sebaliknya. Para pemuas birahi ini dianggap oleh sebagian orang dapat memberikan solusi terhadap kebutuhan seks mereka.Namun, permasalahan yang ditimbulkan dari kegiatan prostitusi ini sangat kompleks.

Problematika yang terjadi semakin menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Bahkan telah menjadi masalah sosial. Mulai dari pelanggaran norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat, perusakan moral dan keimanan seseorang secara tidak langsung hingga kegiatan penjualan manusia (human trafficking) terutama anak – anak dibawah umur dan remaja.

Anak – anak dibawah umur sering kali terjerat dalam pusaran prostitusi. Sungguh malang sekali, anak – anak dan remaja yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari orang yang dikasihi dan perlindungan yang sah dihadapan  hukum, justru malah terjerumus kedalam lingkaran prostitusi.

Nampaknya lingkaran tersebut layak untuk dikatakan bagai sebuah lingkaran setan. Bagi siapa saja yang telah masuk kedalam lingkaran tersebut, maka akan sulit untuk keluar dari lingkaran tersebut. Karena lingkaran setan itu, tak berujung dan takkan pernah ada akhirnya.

Walaupun faktor pendorong terjadinya kegiatan prostitusi ini beragam, mulai dari keinginan dan dorongan dari diri sendiri ataupun karena menjadi korban penjualan manusia. Namun, satu pertanyaan yang akan terlontar dari benak setiap orang, “Apakah anda memiliki cita – cita menjadi seorang pekerja seks?”

Berikut ini kisah pilu sang pemuas birahi lelaki.

Saat itu, kutemui ia menangis tersedu – sedu dipinggir jalan. Dengan penuh keraguan, kuhampiri gadis itu. Spontan, terlontar pertanyaan, “Apa yang sedang kau lakukan disini? Mengapa kau menangis?”

Gadis itu menjawab dengan emosi yang meledak – ledak.

“Apa urusanmu? Jauhi aku!”

“Mohon maaf, jika memang pertanyaanku mengusikmu. Tapi, aku hanya ingin sekedar membantumu. Hari sudah larut malam, apa yang sedang kau lakukan disini? Aku bertanya seperti ini, bukan berarti aku ingin ikut campur dalam urusanmu, aku hanya ingin sekedar membantumu, minimal perhatianku ini adalah wujud kepedulianku padamu, meskipun kita belum saling mengenal”.

Gadis itu hanya tertunduk diam.
“Baiklah, jika memang kehadiranku membuatmu terusik. Akan kutinggalkan kau disini dan kau dapat menghubungi kantor polisi terdekat jika terjadi sesuatu padamu”.

Tiba – tiba, gadis itu menggenggam erat tanganku. Kurasakan genggaman erat tangannya yang dingin dan gemetar.

“Baiklah, ikutlah denganku! Tempat ini tidak cocok untuk menceritakan semua ketakutanmu itu”.

Beberapa menit kemudian, aku dan gadis itu tiba disalah satu kafe tenda dibilangan Jakarta. Segera aku memesan minuman penghangat tubuh dan makanan untuk kami. Ia terlihat sangat lelah. Tak ada sedikitpun motivasi semangat dalam hidupnya. Setelah menikmati santapan tersebut, kuberanikan diri untuk mengetahui identitas gadis itu.

Gadis itu bernama Dian. Dian adalah gadis yang cantik, manis, berkulit putih, tinggi semampai dan langsing. Sekilas, jika kulihat ia nampak seperti gadis yang lugu dan polos.

Perlahan, Dian mulai menceritakan rasa ketakutannya padaku. Entah apa yang membuatnya langsung seketika percaya padaku. Padahal, aku adalah orang yang baru ia kenal dipinggir jalan.

“Aku tahu, mungkin aku begitu mudah mempercayaimu. Tapi, aku yakin, kamu adalah orang yang dapat kupercaya dan membantuku. Kamu belum mengenalku, tapi kamu peduli padaku. Bahkan, aku telah memperlakukanmu secara kasar. Rasanya tak pantas, orang sebaik kamu mendapatkan perlakuan kasar”.

“Hei ... kamu enggak usah berpikir seperti itu. Itu bukan menjadi masalah berarti bagiku”.

“Aku merasa, dunia ini tak adil untukku!”

“Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu? Bukankah Tuhan telah menciptakanmu dalam wujud sempurna dan jauh lebih indah dibanding makhluk yang lain?”

“Mungkin jika kamu lihat secara sepintas, kesempurnaan itu diberikan kepadaku dalam wujud fisik yang sempurna. Tapi, kesempurnaan fisikku ini,tak sesempurna dengan hidupku. Jangankan orang lain, aku saja benci dengan diriku sendiri!”

“Hmmm .. oke. Apakah itu sebuah kebencian ataukah utopia?”

“Entahlah, tapi untuk saat ini, aku hanya percaya bahwa Tuhan itu tidak adil padaku! Kenapa harus aku?”

“Kamu adalah gadis yang sempurna dan cantik. Kamu tahu, kesempurnaan dan kecantikkan yang kamu miliki saat ini dari mana?”
Gadis itu menggelengkan kepala, pertanda ia tidak tahu atau ia sudah mulai skeptis dengan kehidupan yang ia jalani saat ini.

“Kamu itu adalah hasil dari totalitas proses penciptaan Tuhan”.

“Kamu berusaha menghiburku?”

“Meurutmu?”

“Entahlah. Hidupku tak jauh berbeda dengan barang dagangan”.

Aku berusaha memahami bahasa tubuh dan pesan singkat yang ia sampaikan.
“Tuhan membiarkanku seperti ini! Tuhan membiarkan mereka memandangku sebelah mata, menghina, mencaci, menghakimi dan menganggapku seperti sampah masyarakat hingga kini aku terkulai dan tak berarti!”

Gadis itu tertunduk dan meneteskan air mata
“Dulu, aku adalah seorang gadis manis dan penurut terhadap perintah orang tua. Aku hidup disebuah desa kecil dan jauh akan media informasi. Jangankan untuk mencapai cita – citaku, bisa baca, tulis dan berhitung saja butuh perjuangan yang luar biasa. Bagi orang tuaku, seorang perempuan tak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi. Karena bagi mereka, perempuan hanya cukup dikasur, dapur dan sumur. Selain itu, hidup kamipun serba kekurangan, jangankan untuk sekolah, untuk biaya hidup saja kami masih dibantu dari tetangga. Hingga suatu hari, orang tuaku terlilit hutang kepada lintah darat. Rumah dan seekor kambing tak cukup untuk melunasi hutang – hutang orang tuaku. Rentenir itu memberikan pilihan, jika aku bekerja dan mengabdi padanya, maka seluruh hutang orang tuaku dianggap lunas. Namun, apa yang kudapat? Aku diperkosa dan dijadikan pemuas birahi lelaki. Tak ada sedikitpun belas kasihan mereka padaku. Bagiku, ini bukan sebuah pilihan hidup. Lalu, apakah aku bercita – cita menjadi seorang PSK?”


“Ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu, tentu jawaban semua orang TIDAK!”

“Lalu, kenapa mereka memperlakukanku layaknya sampah masyarakat? Bahkan, orang yang kucintai pun merasa jijik padaku? Aku juga manusia biasa, sama seperti kalian, aku punya perasaan. Akupun merasa jijik ketika tubuhku dijamah oleh orang yang hanya memuaskan nafsu dunianya saja!”

“Sudah berapa lama kamu menjalani hidup seperti ini?”

“Aku terjebak dalam lingkaran setan ini selama delapan tahun. Awalnya mungkin aku merasa risih ketika tubuhku dijamah para lelaki hidung belang itu, namun keterdesakan ekonomi semakin membuatku semakin terjerembab begitu dalam. Aku menganggap, lelaki hidung belang itu adalah kaum yang layak untuk diperas uangnya untuk membiayai hidupku”.

“Jika itu bukan menjadi jalan hidupmu, kenapa kamu enggak berusaha untuk keluar dari lingkaran setan itu?”

“Bagaimana? Usaha itu enggak hanya sekali atau dua kali kucoba, tapi sudah berulang kali. Namun, tak pernah membuahkan hasil. Semua gerak gerik kami diawasi oleh antek – antek mucikari itu! Penghasilan yang kuperoleh dari menjajakan diripun dipotong oleh mucikari dengan alibi membiayai kebutuhan hidupku dan membayar keamanan dalam kegiatan prostitusi. Tapi, apa yang kudapat? Bukan rasa aman yang kurasakan, tapi ketakutan yang luar biasa. Usiaku kini semakin menua, bagi mereka, usia 24 tahun adalah usia yang kurang produktif untuk menghasilkan uang. Malam ini, aku belum mendapatkan pelanggan satupun. Sedangkan, aku harus menyetor sejumlah uang kepada mami. Belum lagi stigma masyarakat terhadapku? Aku membantu perekonomian sebagian orang, termasuk keluargaku, namun setelah aku tersungkur tak berdaya, siapa yang akan mampu menolongku? Mereka justru jijik dan meludahiku! Lalu, apakah aku bisa mengatakan bahwa Tuhan itu adil padaku?”

“Apakah tidak ada sedikitpun keyakinanmu terhadap Tuhan?”

“Entahlah, keyakinan itu seakan tlah pupus bersama dengan pupusnya harapan hidupku!
Dulu, aku memiliki sikap antusiasme yang tinggi terhadap dunia jurnalistik, bahkan cita – citaku adalah menjadi seorang penulis. Buku kecil ini, menjadi saksi bisu kejamnya ibukota”.

“Boleh aku lihat buku itu?”.

Dian memberikan buku itu. Jemariku mulai membuka setiap lembaran kisah hidupnya. Dalam benakku berpikir “Mengapa gadis baik dan cantik seperti Dian diperlakukan layaknya barang dagangan? Pantaskah Dian dihina?”.

“Dian, kenapa kamu selalu mengulang kata yang sama dalam setiap lembaran kisah yang kamu tulis?”

“Bagiku, pemuas birahi itu adalah kata yang mampu membangkitkan dan memotivasi untuk bangkit ataukah semakin terpuruk?”

“Setiap lembaran yang kamu tulis ini, banyak unsur pengulangan. Sampai kapan kamu akan menentukan ending dari lembaran cerita ini?”

“Sampai aku dapat terlepas dari lingkaran setan ini!”

“Bagaimana kamu bisa yakin akan keluar dari lingkaran setan itu, jika dalam kamu saja tidak yakin dengan dirimu dan Tuhan?”

“Harga diriku pun tak jauh lebih mahal dari kambing dan rumah yang kusinggahi. Lalu, kepada siapa aku berhak meluapkan kemarahanku ini?”.

“Kamu begitu mudah percaya dan yakin padaku, kenapa kamu tidak lakukan dalam setiap aspek kehidupanmu? Aku yakin, kamu percaya pada kebesaran Tuhan, tapi hatimu selalu berusaha untuk menyangkal dan menolak”.
Dian kembali menangis terisak – isak.

“Aku salah! Aku terlalu berprasangka buruk pada – Mu, Tuhan. Aku berjanji akan menentukan ending lembaran cerita ini! PASTI!”

“No .. No ... Yang benar adalah kita akan menentukan dan menyelesaikan ending dari lembaran cerita ini, Dian”.








JERITAN HATI SANG PEMUAS BIRAHI

Kami bukan hanya untuk dijamah lelaki
Kami bukan hanya untuk memuaskan birahi
Mengapa kami terus dicaci?
Kami juga memiliki hati
Kami ingin dilindungi dan dikasihi
Perlakukan kami secara manusiawi
Kami mohon hentikan kegiatan prostitusi
Agar kami menjadi manusia yang berarti










8 comments:

  1. Replies
    1. This comment has been removed by a blog administrator.

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. terima kasih ya atas kunjungannya :)

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  7. baru sempat mampir neh... nice blog

    ReplyDelete