SIAPA AKU?






 DALAM DIAM, AKU SELALU BERPIKIR, SIAPA AKU?

Aku bukanlah sekedar identitas yang tertera dalam KTP, SIM maupun kartu identitas lain yang terdiri dari : Nama, Tempat/ Tanggal Lahir, Jenis Kelamin , Agama ,dan Kewarganegaraan                              

Mungkin tidak hanya sekedar itu! Mungkin selama ini, banyak orang yang hanya mengenal namaku, tanpa tahu jati diriku sebenarnya. Namaku adalah nama yang singkat dan sederhana. Terdiri dari dua kata, delapan huruf dan dibangun oleh tiga huruf vokal serta lima huruf konsonan. Setiap kali aku introducing, saat aku sekolah, masuk dalam dunia perkuliahan maupun dunia kerja, selalu terlontar sebuah pertanyaan “Orang jawa, ya Sri?”. Jawabanku singkat, jelas dan padat, “Iya”.  Ya, itulah namaku, Sri Patmi, nama itu diberikan kepadaku pada tanggal 7 Mei 1992, sebuah nama sederhana yang diberikan oleh orang tuaku namun berisi banyak makna bagi mereka. Muncul dalam benakku, apa mungkin namaku terlalu menonjolkan identitas diriku? Atau ini adalah sebuah refleksi dan representasi komunikasi antarbudaya? Aku adalah seorang gadis berdarah Jawa.

Aku teringat sebuah peribahasa, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Kembali aku berpikir, inilah aku. Dimanapun aku berada, aku takkan terlepas dari adat dan budaya yang telah mendarah daging dalam setiap hembusan nafas dan aliran darahku.

Jika mereka memandangku dalam perspektif yang berbeda, itu urusan mereka Karena hidupku bukan untuk perspektif itu, melainkan pada langkah yang pasti. Terkadang, perspektif akan menjatuhkan kita pada sebuah kehampaan asa.

Dalam belaian tangan yang penuh kasih, buaian sang bunda dan kasih sayang sang ayah aku dibesarkan. 14 Mei 2012, seminggu setelah ulang tahunku yang ke – 20, ibunda tercinta telah pergi dalam tidur yang tenang.  Saat itu, langkahku terhenti sesaat. Aku seakan berjalan dijalan yang terjal dengan satu kaki. Entah apa yang harus kulakukan. Namun, pikiranku seakan tertuju pada satu titik yaitu kehidupan yang lebih abadi dan pada - Mu, Tuhan. Ternyata, Tuhan jauh lebih menyayangi ibunda.

Tangerang, kota itu seakan menjadi saksi bisu dalam menapaki kehidupan yang berliku. Dikota ini, kini aku berdiri, dibawah lebatnya tirai sang hujan yang membasahi sekujur tubuhku dan guntur yang menggelegar memedar suara, aku telah menemukan penyangga yang menuntunku pada langkah panjang yang kau janjikan itu.  Tangerang, kini aku berdiri dihadapanmu, tanpa langkah semu dan satu asa bersamamu.