MASIH
PERLUKAH ETNOSENTRISME DAN STEREOTIP?
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan
interaksi untuk proses pemenuhan kebutuhan hidup. Interaksi tersebut dapat
diinterprestasikan dalam wujud komunikasi. Komunikasi akan berjalan lancar jika
pelaku yang terlibat dalam komunikasi tersebut memiliki latar belakang budaya
yang sama. Lalu bagaimana dengan yang berlatar belakang berbeda?
Indonesia adalah negara pluralistik. Bahkan
semboyan negara Indonesia pun “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda – beda
tetapi tetap satu jua. Indonesia dibentuk dari beragam suku budaya yang
berbeda. Ada suku jawa, sunda, betawi, batak dan lain – lain.
Dalam realita kehidupan, komunikasi dilakukan
dalam ruang lingkup keluarga. Seiring dengan berjalannya waktu, setiap individu
akan berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas atau jika dalam sosiologi
sering disebut dengan istilah game stage.
Dalam sosialisasi dengan masyarakat, tentu kita akan berjumpa dengan
beragam suku budaya yang berbeda.
Diawal telah dijelaskan, komunikasi akan berjalan
lancar dan efektif, apabila komunikasi dilakukan dengan latar belakang budaya
yang sama. Contoh, seseorang yang berasal dari suku jawa, ketika diperantauan
bertemu dengan seseorang yang berasal dari suku jawa juga, maka komunikasi akan
berjalan efektif dan hubungan akan menjadi intens. Hal tersebut terjadi karena
dipengaruhi oleh field of experience (bidang
pengalaman yang sama).
Bagaimana dengan komunikasi yang dilakukan dengan
latar belakang budaya yang berbeda? Sebenarnya, komunikasi dan budaya memiliki
korelasi yang sangat erat. Menurut Edward T. Hall, komunikasi adalah budaya,
budaya adalah komunikasi. Memang, terkadang komunikasi antarbudaya terhambat
karena adanya kebiasaan (habit), nilai dan norma yang tumbuh dalam suatu masyarakat
tertentu. Komunikasi antarbudaya dapat dilakukan dengan efektif karena adanya
sikap saling menghargai, toleransi, mengembangkan sikap heterogenitas
(keberagaman masyarakat),keterbukaan (transparansi), dan pemahaman terhadap
budaya lain. Selain itu, mengurangi sikap etnosentrisme dan stereotip.
Nah, apa itu etnosentrime dan stereotip.
Etnosentrisme adalah sikap atau pandangan yg berpangkal pd masyarakat dan
kebudayaan sendiri, biasanya disertai dng sikap dan pandangan yg meremehkan
masyarakat dan kebudayaan lain. Stereotip adalah menggeneralisasikan individu
berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan
keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Larry A. Samovar dan Richard E. Porter
mendefinisikan stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita naut
mengenai kelompok – kelompok atau individu – individu berdasarkan pendapat dan
sikap yang lebih dulu terbentuk. Sedangkan menurut Robert A. Baron dan Paul B.
Paulus, stereotip adalah kepercayaan hampir selalu salah, bahwa semua anggota
suatu kelompok tertentu memiliki ciri – ciri tertentu atau menunjukkan perilaku
– perilaku tertentu. Kelompok yang dimaksud ialah kelompok ras, etnik, atau
kategorisasi berdasakan penampilan fisik. Contoh stereotip yaitu : paradigma
yang muncul dalam masyarakat yaitu orang jawa itu halus pembawaannya, orang
padang itu pelit, orang batak kasar, laki – laki cenderung berpikir menggunakan
logika, perempuan berpikir menggunakan perasaan dan lain – lain.
Masih perlukah etnosentrisme dan stereotip dalam
proses komunikasi? Stereotip dan etnosentrisme memang lebih berorientasi pada
suatu hal yang negatif, namun selama sikap etnosentrisme dan stereotip tersebut
hanya sebatas untuk dipahami dan bukan untuk diimplementasikan dalam realita
kehidupan maka proses komunikasi akan berjalan dengan lancar dan efektif,
meskipun terkadang terkendala karena adanya kesulitan dan keterbatasan bahasa.
Pentingnya komunikasi antarbudaya ini dapat
menimbulkan suatu difusi inovasi, yang berarti usaha mengampanyekan penemuan –
penemuan baru untuk diterima oleh masyarakat. Berkaitan dengan pemakaian unsur
budaya dalam proses komunikasi, dikenal dua prinsip yaitu Homofili dan
heterofili. Homifili adalah Homofili
adalah derajat persamaan dalam beberapa hal tertentu seperti keyakinan, nilai,
pendidikan, status sosial dan lain-lain, antara pasangan-pasangan individu yang
berinteraksi.Heterofili adalah interaksi yang dilakukan individu dengan
meninjau pada perbedaan dalam suatu proses penemuan informasi baru.
Saya memiliki sebuah lelucon mengenai perbedaan
bahasa dalam komunikasi antarbudaya dan stereotip serta etnosentrisme.
Ada
sepasang kekasih. Mereka berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Wanita berasal dari Suku Sunda dan Pria berasal dari Bali. Suatu hari, mereka
menemui orang tua mereka. Setelah berbincang lama, sang ibu bertanya, “dek, si
adek teh asalna mana kitu nya?”.
Dengan sedikit bingung, si pria menjawab “Hmm
... Bali, bu. Nama saya saja I Gede Suardika”.
Si ibu hanya menjawab “Oh”.
Lalu
bergegas ia menemui anaknya,”neng, kadieu
heula! (kesini dulu)”.
“Naon atuh si ibu teh?”. (Ada apa
ibu?)
“Heh, meneh teh teu salah gitu? eta kabogoh
maneh?” (Kamu enggak salah, dia pacar kamu?)
“Iya, kunaon atuh?” (Iya, kenapa?)
“Ibu teh teu setuju. Neng, si Mamat
geu suka sama eneng. Ibu lebih setuju kalo kamu sama Mamat, apalagi dia sama –
sama urang sunda, neng!”
Dengan
santai dan tersenyum,
“Ibu, ieu teh masalah perasaan lain
masalah suku, bu. Lamun, si ibu setuju abdi jeung Mamat, kunaon atuh ibu teu
setuju mun abdi jeung I gede Suardika?” ( Ibu, ini masalah perasaan, bukan masalah suku. Kalo ibu setuju sama
Mamat, kenapa ibu enggak setuju kalo saya sama I Gede Suardika?).
“Teu lah! Ibu teu setuju!” (Enggak, ibu enggak setuju).
“Mun ibu teu setuju mah, mending si
Mamat bae nikah jeung I Gede Suardika? Jadi kalo mereka punya anak namanya I
GEDE AMAT” (Kalo ibu enggak
setuju, lebih baik si Mamat aja yang suruh nikah sama I Gede Suardika. Jadi
kalo punya anak, namanya I GEDE AMAT ).
***
Salam kenal. Blognya cantik.
ReplyDeleteCatatanLyngLyng.blogspot.com datang berkunjung..
Keep Writing yaaa.. cheer
Iya kakak ..
Deleteterima kasih banyak ya
nanti saya kunjungi
:)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteGa ngerti
ReplyDelete