Sunday 5 December 2021

Mengelola Sampah Emosi Tanpa Menimbulkan Friksi

Ilustrasi Gambar : Liputan6.com

 

 "Mama Bilang Diam! Jangan Nangis!" 

"Jangan Cengeng Jadi Anak!"

"Jangan Marah-Marah sama orang, enggak bagus!" 

 

Ungkapan seperti ini sering terjadi didalam kehidupan sehari-hari. Seorang anak yang menangis kepada orang tua karena kesal, marah dan kecewa. Orang tua dengan segera menyuruh untuk diam. Seorang bos yang marah kepada bawahannya karena kinerja yang salah. Lalu ia pulang membawa kekesalannya dan melampiaskan kepada istri. Seorang ibu yang lelah bekerja, mengurus rumah tangga dan bertengkar dengan suami melampiaskan kemarahannya kepada anak. Dendam pada mertua lalu suami yang menerima pembalasannya. Itu semua bukan cerita dalam drama di layar kaca. Realita kehidupan ini tidak terlepas dari tubuh fisik dan batin yang kurang seimbang dalam menghadapi masalah. Lalu bagaimana menyeimbangkan keadaan tubuh fisik dan batin agar friksi dapat diminimalisasi? 

 

Katarsis

Merupakan pelepasan emosi negatif dan keluh kesah akibat luka batin yang tersimpan serta terpendam. Kathoros berasal dari Bahasa Yunani yang berarti pembersihan dan pemurnian. Sigmund Freud menggambarkan kondisi seseorang melepaskan rasa sakit di masa lalu dengan cara mengartikulasikan segala sakit secara menyeluruh. 

 

“The Stimulating Versus Cathartic Effect of a Vicarious Aggressive Activity” merupakan tulisan Sigmund Freud pada awal tahun 1960 sebagai penggambaran diri bahwa emosi yang tertahan bisa menyebabkan emosi yang berlebihan sehingga butuh media untuk menyalurkan emosi tersebut. Biasanya emosi yang tertahan ini akibat peristiwa dan pengalaman yang menyakitkan. Psikoanalisis Freud mengungkapkan bahwa manusia dipengaruhi oleh gerakan Eros dan Thanatos. 

Eros adalah bersifat konstruktif atau membangun. Emosi bersifat sementara didalam diri, lalu bangkit menjadikan luka batin menjadi produktif 

Thanatos bersifat destruktif atau merusak. Emosi yang bersifat agresif dan kecenderungan untuk menyerang, melakukan pertentangan dan perlawanan kepada orang lain. Apabila telah mereda emosi ini, suatu hari ia bertemu dengan orang yang pernah melukainya, naluri akan terangsang untuk berperilaku agresi dengan berbagai cara. Misal : tidak mau bertemu dengan dia, buang muka dan lain-lain. 

 

Menjalani kehidupan  ini, tentunya kita sering mengalami pergesekan dengan orang lain. Tersinggung akibat bercanda yang keterlaluan, marah akibat dibentak, kecewa ketika pasangan mendua, kecewa karena cinta bertepuk sebelah tangan dan masih banyak ungkapan rasa lain yang harus diluapkan keluar. Apakah marah-marah dan kecewa kepada orang lain itu wajar? Marah dan kecewanya wajar, tetapi orang lain yang menjadi pelampiasan ini bersifat ambigu dan kurang tepat. 

 

Apa yang Terjadi Pada Tubuh Ketika Marah, Kecewa, Berduka, Kesal? 

Analogi sederhana untuk menggambarkan tubuh fisik dan batin dalam kondisi seperti ini bagaikan menyimpan balon yang terus diisi air. Apabila sudah penuh, meluap dan tidak dapat menampung akan pecah. Kemungkinan yang terjadi ketika pecah kedalam atau pecah keluar. Jika pecah didalam, tentunya hal ini akan menjadi racun didalam diri. Luka batin ini akan tersimpan dan terpendam, memori akan merekam dan suatu saat akan recall (dipanggil kembali). Maksudnya recall adalah menimbulkan perasaan bersalah yang berkepanjangan. Pernah melihat seorang kakek/nenek yang sudah mulai terserang demensia? Tiba-tiba melihat cermin, menangis. Melihat anak kecil yang bermain, menangis. 

 

Perasaan Ditolak atau Denying. Saat terjadi ungkapan rasa marah, kecewa dan kesal, disinilah perasaan denying muncul. Keadaan menyangkal, mengingkari, melawan, keberatan dan antipati akan mengikuti berjalan beriringan dengan perasaan marah. Merasa ditolak oleh lingkungan dan ditinggalkan oleh orang lain. Emotional distress meningkat dan memicu tindakan membangun dan merusak. Kondisi yang memilukan adalah self-destructive, seorang akan memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri. Menolak realitas pernah disakiti/pernah menjadi korban dan terus berhalusinasi, jika ia ditolak oleh lingkungan. 

 

Anjuran penanganan perasaan seperti ini dapat dilakukan dengan hypnotherapy. Tetapi hypnotherapy dapat dilakukan dengan katarsis terlebih dahulu. Luka batin yang belum disembuhkan dengan cara katarsis akan tersimpan didalam gudang memori dan suatu saat akan terpanggil lagi mencuat di permukaan. 

 

Apa yang Terjadi Jika Tidak Meluapkan Emosi Negatif?

Berdasarkan hasil Riset Programme for International Students Assesment(PISA) 2018, Indonesia menempati posisi ke-5 dari 78 negara dengan jumlah kasus korban perundungan (bullying) sejumlah 41,1%. Sepanjang 2018, KPAI mencatat 445 kasus kekerasan di lingkungan terjadi pada anak, baik dilakukan oleh orang tua atau teman sebayanya sendiri. Ditemukan lagi fakta lain dari Komnas Perempuan terdapat fakta yang mencengangkan berupa 8.234 kasus kekerasan perempuan diranah pribadi/privat yaitu kekerasan terhadap istri 3.221 kasus (49%), posisi kedua kekerasan terhadap pacar 1.309 kasus (20%), ketiga kekerasan terhadap anak perempuan 954 kasus (14%), sisanya kekerasan terhadap mantan suami, mantan pacar, pekerja rumah tangga. Komnas perempuan mengungkapkan pola yang sama, dipicu oleh ranah hubungan/lingkungan pribadi dengan berbagai faktor yaitu himpitan ekonomi, ketidakharmonisan keluarga, kontrol emosi yang kurang, faktor internal yang tempramen, kecemasan berlebihan dan pengalaman masa lalu yang menyakitkan. 

 

UU No.18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa mengkategorikan kondisi gangguan kesehatan jiwa seseorang dalam tiga kelompok : 

1. Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yaitu orang yang mengalami masalah fisik, mental, sosial, kualitas hidup sehingga beresiko mengalami gangguan jiwa. 

2. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yaitu orang yang mengalami gangguan dalam bentuk pikiran, perilaku dan perubahan yang bermakna sehingga tidak dapat menjalankan fungsi diri sebagaimana manusia harus bertindak. 

3. Orang Gangguan Jiwa Berat (termasuk dalam ODGJ) yaitu orang yang sudah tidak dapat membedakan realitas kehidupan dan kerap kali mengalami halusinasi dan ilusi. 

 

Sekumpulan kasus ini menjadi gambaran betapa bahayanya emosi negatif yang tidak dikontrol dengan baik oleh diri. Dampaknya akan buruk terhadap diri sendiri dan orang lain. Bahkan dampak ini bersifat ripple effect/ efek riak yang negatif terhadap lingkungan sekitar. Misalnya seorang anak yang selalu dijadikan korban pelampiasan kekesalan orang tua, karena tidak sanggup melawan akan berusaha melampiaskan kemarahannya kepada teman sebaya dengan melakukan bullying. Jika tidak mampu bersikap agresif, ia akan tumbuh menjadi anak yang pemurung dan penutup. Pelampiasan lainnya, ia akan bercerita kepada orang lain karena di rumah ia tidak menemukan kenyamanan. Hal ini akan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindak kejahatan seperti kekerasan seksual dan human trafficking. Kondisi lain ketika emosi negatif tidak meluap keluar adalah depresi, gangguan kejiwaan dan kelahiran prematur bagi ibu yang sedang hamil.  

 

Membuang Sampah Emosi dengan Baik : 

1. Therapy Zaman Yunani Kuno  

Selain Sigmund Freud, Aristoteles pernah membahas masalah katarsis dalam dua karya yang berjudul Politics dan Poetics. Dalam karya politics, ia menyebutkan seseorang yang merasakan pengalaman yang memilukan dapat disembuhkan dengan mendengar lagu sakral karena lagu sakral dianggap sebagai pemurnian dan penyucian diri. Buku ke-enam yang berjudul Poetics menyebutkan bahwa Drama Yunani Kuno dapat digunakan sebagai media membuang emosi negatif dalam diri. Drama Yunani Kuno ini menirukan rasa pilu dan takut yang dialami seseorang, sehingga dengan cara melihat maka emosi akan meluap melalui drama tersebut. 

 

2. Art Therapy 

Batin yang tertekan tak selamanya keluar dalam bentuk amarah, kemarahan dan dendam. Kondisi batin yang tertekan akan menyebabkan luapan emosi justru masuk kedalam diri dalam bentuk depresi dan frustasi. Hal ini yang membuat penderita depresi sulit untuk mengungkap perasaannya melalui kata-kata atau sekedar bercerita tentang apa yang ia rasakan. Salah satu caranya dengan menggambar, melukis dan menuangkan segala bentuk amarah dalam bentuk visual sebagai pengganti kata-kata. American Art Association (2013), menyatakan bahwa art therapy ini sebagai bentuk memfasilitasi seseorang yang memendam emosi dengan menggunakan media seni sebagai cara berpikir kreatif. Hasil karya ini akan digunakan untuk mengeksplorasi ungkapan konflik emosi didalam diri, menata diri, menata perubahan yang terjadi, dan mengembalikan pada orientasi realitas kehidupan. Art Therapy dapat mengurangi ketergantungan pada orang lain jika emosi tersebut harus meluap. Artinya pelampiasan diri sudah terpenuhi melalui proses berpikir kreatif diatas tinta dan kertas, sehingga pergesekan dengan marah kepada orang lain dapat diminimalisasi. 

 

​3. Self Hypnosis 

Metode ini digunakan untuk memberikan motivasi kepada diri sendiri. Metode ini menggunakan pikiran bawah sadar, relaksasi dan sugesti untuk mengembalikannya dalam kondisi normal. Stimulus ini diberikan dengan cara menghilangkan segala bentuk campur tangan pikiran dan mengembalikan pada kesadaran diri tentang kehidupan. 

4. Self Therapy dengan Menulis 

Terkadang ada hal yang tidak dapat diceritaka kepada orang lain dengan berbagai alasan. Misalnya karena rasa tidak enak akan menyakiti hati orang lain dan menyimpannya rapat-rapat, tidak mampu melawan karena tidak enak hati dan lain-lain. Setiap diri memiliki sikap yang berbeda, ada yang diam (pasif) dan lantang (subversif). Bagi subversif, ia akan lantang berbicara dan tidak akan memendam luka batin didalam dirinya. Bagi si pasif, ia akan memilih untuk banyak diam dan membuktikan dengan fakta terbalik. Media tulisan dapat digunakan untuk menuangkan segala bentuk emosi negatif dibanding menyakiti hati orang lain. Dalam diary, seseorang tidak akan malu mengungkapkan semua yang dirasakan. Menuliskan segala keluh kesah dalam catatan menjadi self therapy untuk mengantisipasi tindakan buruk yang terjadi. Hal ini dapat melatih dan memicu amigdala bagian otak untuk berpikir kreatif dan ekspresif. Keadaan normal yang dihadapi oleh diri merasa sakit jika disakiti. Hal yang berbahaya adalah jika sudah tidak dapat merasakan sakit. Keadaan tidak dapat merasakan sakit atau congenital insensitivity to pain yang disebabkan oleh faktor genetik karena mutasi gen SCN9A atau yang jarang terjadi adalah mutasi gen PMRD12.  

5. Bercerita, Bernyanyi dan Menangis 

Jika bercerita dapat melegakan batin yang tertekan, maka pilihlah orang yang tepat untuk berbicara. Ketika seseorang berbicara, maka simptom (gejala munculnya perbedaan diri akibat penyakit) akan menghilang. Jika harus meluapkan emosi negatif dalam bentuk menangis, keluarkan dalam bentuk tangis yang bermanfaat. Setelah itu, berusahalah untuk membangun kepercayaan diri bahwa setiap orang memiliki keberhargaan dalam kehidupan ini. Jika melihat anak menangis, biarkan ia melepas semua perasaan kecewa dan kekesalannya. Menangis bukan tanda lemah dan cengeng, menangis menjadi media katarsis yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dengan menekan alam bawah sadar pada kesadaran bahwa realitas ini berjalan beriringan ada gelap dan terang, baik dan buruk, bahagia dan sedih. Jika orang tua marah, ada sisi baik dan buruk didalam orang tua yang harus disadari sebagai bentuk realitas dunia yang berjalan seimbang. Bagi orang tua atau pasangan, tidak ada salahnya membentuk kesadaran untuk meminta maaf apabila bersalah. Hal ini dapat membangun kepercayaan diri seseorang setelah adanya penolakan didalam diri. 

 

6. Meditasi 

Metode penenangan diri melalui meditasi bertujuan untuk menekan sisi fisik untuk memunculkan sisi batin. Treatment meditasi ini dengan cara dogmatis atau mengurangi aktivitas fisik. Jika sedang melakukan banyak aktivitas, cobalah untuk menarik diri dengan menyadari keberadaan batin Anda yang sangat penting untuk didengar dan dipulihkan setelah terluka. 

 

7. Menyeimbangkan Diri dengan Olah Raga, Olah Rasa, Olah Jiwa, Olah Mental 

Hal ini dapat dilakukan seiring dengan perjalanan waktu dan pendewasaan diri. Pada tahapan seperti apa kita akan merasakan puncaknya kekecewaan, puncaknya kemarahan, puncak bahagia bahkan puncak pencapaian tertinggi diri dengan menggabungkan sisi fisik dan batin dengan berbagai pengalaman dan peristiwa didalam kehidupan. 

 

Emosi negatif ini memang berbeda dengan gangguan mental, tetapi emosi negatif yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan gangguan mental dan merusak lingkungan sekitar. Emosi negatif menjadi penyeimbang didalam kehidupan, tetapi porsinya harus diperhatikan dan membuangnya harus dengan cara yang tepat. Kita harus mulai mengenal diri dalam sudut normal dan abnormal. 

 

Bogor, 5 Desember 2021

Salam, 

 

Sri Patmi  

0 comments:

Post a Comment