KORELASI
ANTARA KORUPSI DAN PROSTITUSI
Korupsi dan prostitusi. Ketika diucapkan
dengan cepat, sekilas istilah ini seperti sama. Namun, korupsi dan prostitusi
adalah dua buah suku kata yang memiliki makna berbeda.
Seperti yang telah
diulas dalam artikel saya sebelumnya “KETIKA BISNIS LENDIR MULAI DISINDIR”,
dijelaskan bahwa prostitusi dianggap sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak
yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang
memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang
beraneka ragam. Prostitusi sama halnya dengan pelacuran.
Nah, bagaimana dengan pengertian
korupsi? Mari kita ulas bersama!
1. Korupsi menurut wikipedia korupsi berasal
dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang berarti kerusakan atau
kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.
2. Definisi
Korupsi menurut Syeh
Hussein Alatas menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas
korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan
pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum,
dibarengi dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat yang diderita oleh masyarakat.
3. Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Udang No. 31
Tahun 1999 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonoman negara…”
4. Korupsi menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Indonesia
adalah negara yang kaya akan kekayaan alam yang berlimpah ruah. Mulai dari
minyak bumi, batu bara, timbal, timah dan gunung emas di Papua yang dikuasai
oleh pihak asing.
Sungguh
ironis, negara dengan kekayaan berlimpah ruah, namun rakyatnya masih hidup
dalam kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di
Indonesia sebagai berikut:
·
Pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin
(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di
Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37 persen), berkurang sebesar 0,52 juta
orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang sebesar
28,59 juta orang (11,66 persen).
·
Selama periode September 2012-Maret 2013, jumlah
penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,18 juta orang (dari 10,51 juta
orang pada September 2012 menjadi 10,33 juta orang pada Maret 2013), sementara
di daerah perdesaan berkurang 0,35 juta orang (dari 18,09 juta orang pada
September 2012 menjadi 17,74 juta orang pada Maret 2013).
·
Selama periode September 2012-Maret 2013, persentase
penduduk miskin di daerah perkotaan dan perdesaan tercatat mengalami penurunan.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2012 sebesar 8,60
persen, turun menjadi 8,39 persen pada Maret 2013. Sementara penduduk miskin di
daerah perdesaan menurun dari 14,70 persen pada September 2012 menjadi 14,32
persen pada Maret 2013.
Semua ini berbanding terbalik dengan kondisi
para pejabat negara yang diberikan amanah untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat. Namun, kepentingan pribadi melenggang diatas kepentingan rakyat. Negara
ini, tak ubahnya bagai negara kapitalis. Bagaimana tidak, yang memiliki
kekuasaan maka ialah yang memiliki banyak uang. Nampaknya, negara ini telah
mengimplementasikan konsep hukum rimba, yang kuat maka ia yang akan berkuasa.
Hal tersebut terkait pada politik uang. Ketika dihadapkan pada uang, siapa yang
akan mampu menolak?
Nampaknya, Indonesia telah berhasil
mentransfromasikan kebudayaan hingga mendarah daging. Mulai dari birokrasi yang
kecil hingga pusat tatanan tertinggi negara. Dilansir dari republika.co.id,
Indonesia menduduki posisi keempat negara terkorup dikawasan Asia. Menurut
organisasi nonprofit yang memiliki perhatian khusus dan kerap melakukan survei
soal korupsi yaitu Transparansi Internasional, dalam situs resminya memuat
bahwa Indonesia menduduki posisi 114 dengan indeks persepsi 32.
Setelah draft revisi UU No.31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi ( Tipikor ) versi pemerintah, menghapuskan hukuman
mati bagi para koruptor. Bahkan, yang lebih lucu lagi, usulan yang menyatakan
bahwa korupsi dibawah atau senilai Rp.25.000.000, tidak perlu diproses pidana
dan cukup mengembalikan sejumlah uang dikorupsi serta denda. Dengan alasan yang
sangat menggelitik, yaitu demi alasan kemanusiaan dan kapasitas penjara yang
sudah penuh.
“Bangsa ini jangan menjadi bangsa yang
kejam, kita harus punya hati nurani. Kalau korupsi 25 juta lalu dimasukkan
penjara, 5 sampai 6 tahun, kasihan dong” ungkap Patrialis Akbar, Mantan Menteri
Hukum dan HAM.
“Memang ada kalimat itu ( penghapusan penjara
korupsi dibawah 25 juta ), tapi belum kita yakini sebagai sesuatu yang final.
Kalau sudah masuk di DPR baru dibahas. Nah, kira – kira bagaimana. Sekarang
saja penjara sudah enggak muat”. Tambah Patrialis Akbar.
Terkait
penghapusan hukuman mati untuk para koruptor, sesuai dengan Konvensi
Internasional yang sudah diratifikasi Indonesia, Menteri Hukum dan HAM
menambahkan “Dalam perkara – perkara korupsi tidak ada hukuman mati. Kita ini
kan hidup dalam dunia Internasional, tapi kita disisi lain lebih menspesifikkan
lebih rinci lagi tentang perbuatan – perbuatan korupsi”.
Pernyataan
tersebut ditambahkan lagi oleh M. Amari, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus
(Jampidsus), “Biaya menangani korupsi itu diatas 25 juta rupiah. Kalau kita
nangani perkara dibawah 25 juta rupiah, ya rugi negara. Jadi ya mereka suruh
mengembalikan saja uangnya”.
Usulan
tersebut disambut oleh mantan ketua KPK, Busyro Muqqodas, “Itu tidak edukatif,
itu menggambarkan bahwa desain konsepnya itu tidak mencerminkan kesadaran
edukasi”.
“Kalau
25 juta rupiah itu tidak dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, kan korupsi
di tingkat kelurahan dan kecamatan bisa merajalela. Nah itu konyol sekali”
tambah Busyro Muqoddas.
Nampaknya,
revisi UU No.31 tahun 1999 itu semakin melemahkan penegakkan hukum terhadap
para pelaku tindak korupsi. Pemerintah harus berani menentukan sikap terhadap
para pelaku kejahatan berkerah putih tersebut.
Ketika kita menyaksikan televisi, lagi –
lagi berita yang kita dengar hanyalah korupsi. Sepertinya, pemberitaan korupsi
sudah menjadi sebuah konsumsi. Yang
mengonsumsi uangnya para koruptor, kita hanya mengonsumsi pemberitaan para
aktor. Saya merasa tergelitik ketika melihat korupsi menjadi fenomena politik.
Lalu,
apa korelasi antara korupsi dan prostitusi? Korupsi dan prostitusi memiliki
satu persamaan yaitu proses pelacuran. Jika prostitusi melacurkan diri demi
kepentingan diri sendiri, maka korupsi melacurkan kepentingan rakyat demi
kepentingan pribadi atau pihak kerabat terdekat.
Perbedaannya
nyata dapat kita amati dari implikasi yang ditimbulkan dari kedua proses
pelacuran tersebut. Jika prostitusi merusak moral sebagian orang, sedangkan
korupsi dapat mempengaruhi, mengubah dan merusak seluruh aspek kehidupan rakyat
Indonesia. Korupsi telah mencacatkan mental, moral, ekonomi, sosial, budaya,
dan memiskinkan rakyat Indonesia secara tidak langsung.
Bagai
mencari jarum ditumpukkan jerami. Analogi itu cocok untuk direalisasikan ketika
kita mencari seorang negarawan bukan hanya seorang politikus.
Perlu
adanya peran serta dan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam upaya
pemberantasan korupsi. Bukan hanya berpangku tangan menunggu hasil kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apabila kita hanya menutup mata terhadap
tindakan korupsi, maka uang rakyat yang akan digerogoti oleh kepentingan yang
dipolitisasi. Aksi, realisasi dan sanksi ...
Saat para koruptor sedang asyik
berlenggang
diatas kepentingan
pribadi dan golongan
Lalu
siapa
yang patut disalahkan?
keren (y) tulisannya. templatenya juga :
ReplyDeletethanks ya atas kunjungannya
ReplyDeletesemoga tulisan ini dapat bermanfaat
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.