Pandemi
COVID-19 sudah berjalan selama hampir satu tahun. Efek domino pada akhirnya
melumpuhkan segala lini kehidupan. Bahkan diperparah dengan adanya penurunan
kualitas diri akibat beban mental yang belum berkesudahan. Manusia dikungkung,
dibatasi, diberi jarak, menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Sana sini
bicara pandemi. Kehidupan yang lain mengharuskan mereka tetap bergerak disaat
bumi yang berputar ini seakan terhenti.
Sebagian
besar dari mereka mengalami hal terburuk yang tidak pernah diduga dalam
hidupnya. Sedang asik bekerja, mendapat pengumuman PHK. Miris, seakan dunia
terhenti dan drop total akan terjadi jika tidak ada keyakinan dan harapan yang
meneguhkan dan mengukuhkan. Jelas... Selama ini tidak pernah terpikir ini semua
akan terjadi ditengah keadaan yang sedang baik-baik saja. Manusia berlenggang
sebebas mungkin, berulah sesuka hati, menikmati kehidupan ini dengan penuh hawa
nafsu yang dibawa dari perut. Nafsu kekuasaan, kekayaan dan kejayaan apapun
caranya. Manusia melakukan intrik dan berpolitik untuk mencapai tujuannya
dengan berbagai cara. Sudut pandang benar dan salah pada akhirnya menjadi
sebuah objek yang bersifat sementara.
Disusul dengan upaya penyelamatan diri masing-masing
pada akhirnya dilakukan. Alih-alih penyelamatan untuk kepentingan umum, hal ini
didasarkan pada penilaian subjektif semata. Hakikat sejatinya adalah
penyelamatan terhadap diri sendiri. Rintih tangis, jeritan lapar dimana-mana. Bersyukur
dalam kondisi seperti ini, pemerintah tetap menjaga stabilitas ketahanan
pangan. Selama pandemi ini, kata bansos sudah sering terdengar melalui media dan
perbincangan mulut ke mulut. Bantuan tersebut menjadi angin segar untuk
perekonomian makro dan mikro khususnya.
Korban PHK atau yang dirumahkan hanya mampu menikmati
kesedihannya di rumah. Karyawan yang mengundurkan diri hanya berharap cemas
terhadap Uang Penggantian Hak (UPH) yang akan mereka terima. Menanti keputusan
yang digantung. Semuanya kebingungan pontang panting tak tentu arah. Kerja
membabi buta, lesu dan layu. Kemerosotan mental dan psikologis. Tekanan depresi
dan stress menghantui. Jika sudah kepepet tidak ada pilihan lain selain
bertahan hidup dengan berbagai cara. Mengambil hak orang lain akan dilakoni.
Seperti sebuah hal yang dimulai dari awal lagi. Motivasi
yang melemah, pergerakan diri semakin lambat. Susunan kosmos dan syaraf
mengatur ulang semuanya. Mengembalikan kemurnian alam ini secara perlahan.
Tengok saja disekitar kita saat ini, mayoritas tetangga dan kerabat memiliki
hobi dadakan berupa berkebun, bercocok tanam dan menekuni dunia pertanian. Bahkan
mereka yang tidak memiliki modal sama sekalipun, bercocok tanam dengan bibit
dan benih yang ada di dapur. Seperti cabai, bawang, tanaman apotek hidup. Bahkan
ada yang berlomba-lomba untuk mendapatkan jenis tanaman yang memiliki nilai
ekonomis tinggi saat ini. Masuk keluar kawasan hutan lindung dan konservasi.
Mengabaikan setiap ekosistem didalamnya dijaga agar siklus mata rantai tidak
terganggu. Beragam jenis tingkah polah manusia. Tetapi essensi dari kehidupan
yang berjalan dimasa pandemi ini adalah purifikasi atau pemurnian nilai alam
semesta.
Perubahan kecil tetapi mengembalikan essensi hitam
kelam menjadi biru. Mobilisasi kendaraan berasap berkurang karena sebagian
besar melakukan aktivitasnya di rumah saja. Angin segar mulai terasa
dimana-mana. Hawa panas tetap ada tetapi tidak menyengat dan masih memberikan
kesejukan. Masih terasa angina sepoi-sepoi yang menghantarkan ketulusan dan
kemurnian dunia ini. Penghijauan terjadi dimana-mana. Mereka berlomba mencari
bibit dan benih tanaman untuk ditanam di rumah. Merasakan seni bercocok tanam. Melihat
proses bertumbuhnya saja sudah memberikan sense yang berbeda. Merasakan
kedamaian kecil bertumbuh ditengah keluarga, ranjang ternyaman untuk pulang dan
kembali dari penatnya rutinitas kehidupan.
Pandemi memang memberikan dampak yang sangat mondial.
Semuanya terhenti secara massif. Entah sampai kapan, kita bukan ahli untuk
meramalkan dunia ini. Penurunan motivasi dan semangat hidup karena tekanan
psikologis meraja dimana-mana. Hakikatnya ketika pandemi seperti ini tetaplah
bergerak produktif. Menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri dan
orang lain. Hakikatnya, setelah dunia ini terhenti, pada siapa kita akan
bergantung? Orang yang bekerja bergantung pada atasan? Atasan bergantung pada
siapa? Secara umum, bisnis layu cenderung mati. Salah satu bidang usaha yang
bangkit adalah agrobisnis. Pada Sang Kehidupan ini kita akan kembali
bergantung, Sang Pencipta jagad raya yang agung.
Jika diambil kesimpulan secara sederhana, purifikasi
atau pemurnian terhadap alam ini sedang terjadi secara alami. Seluruh elemen
kehidupan bersatu untuk menjalankan roda yang terhenti untuk bergerak kembali. Cahaya
matahari mulai masuk dalam tulang sumsum. Merasuk dalam tubuh manusia agar
bersatu dengan alam itu sendiri. Alam yang dulu diabaikan bahkan tak tersentuh
sama sekali. Manusia hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri. Alam akan
diingat karena faktor butuh saja. Setelah itu akan diabaikan kembali. Merusak
setiap hari, urusan memelihara sudah tak ada yang peduli. Yuk coba tengok
kembali! Masukkan dan tarik lagi kedalam diri kita! Sudah seberapa besar
kepedulian kita terhadap alam?
Sudahkah bersyukur terhadap segala pemberian alam yang
selalu terlupakan? Meski setiap hari kita berada di kota metropolitan, penuh
debu, asap kendaraan, dan polusi. Udara yang kita hirup dan masuk kedalam
rongga dada tetap hidup sampai dengan saat ini. Dalam yang tercemar selalu
diberikan udara yang murni untuk konsumsi manusia. Dinikmati tanpa harus
mengantri di kasir untuk menerima struk dan membayarnya. Manusia terlalu pongah
dengan kedikdayaannya. Dipenuhi nafsu serakah sana sini untuk menimbun
pundi-pundi rejeki milik sendiri atau milik orang lain. Satu sisi, bingung mau
belanja apa lagi? Sudut yang berseberangan, bingung tidak ada uang untuk
belanja. Jika mau berhitung dari manapun asalnya rejeki itu sampai di tangan
kita, takkan pernah sanggup rejeki itu terlogikakan oleh akal pikir manusia.
Manusia saja terlalu sombong dibekali dengan logika yang tak punya makna. Masih
saja dijejali kesesatan yang tidak disadari akibat konsep berpikir dicampur-campur
dorongan nurani, pikiran, logika dan jiwa. Benang merah kehidupan sudah
dibentangkan. Tetapi tak ada yang menyadarinya.
Saya masih terharu saja dengan kondisi yang saat ini
terjadi masih saja bisa menikmati padi yang ditanam di tanah sendiri. Padahal
logisnya, sudah tidak ada uang, tidak makan. Itu jika berbicara dengan manusia
logika ya? Kan kita hidup tidak bersama dengan manusia saja, kita hidup
berdampingan dengan sisi nonfisik yang tak terlihat. Sudah waktunya yang biru
kembali dibirukan. Bagian yang membiru biarkan membiru, merasakan sakitnya
memar yang tercemar. Menikmati spekulasi hidup yang masih samar-samar. Hanya
menantikan tempayang berisi sabar mulai menyebar. Menikmati hakikat hidup,
menanti woro-woro tersiar.
***
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.