PAHLAWAN TAK DIKENAL
Penat dan jenuh, itulah yang kurasakan
saat ini. Berangkat kerja pagi, pulang malam. Itulah rutinitas yang harus ku jalani
setiap hari. Akhirnya kuputuskan pekan ini untuk berlibur dan mencari suasana
liburan yang baru di Museum Kota Tua Jakarta. Rasanya tak sabar menanti hari
esok. Bangun pagi, bergegas aku mandi dan bersiap – siap untuk menikmati
liburan hari ini. “Semangat .. semangat ... semangat ...” Itulahkata – kata
yang ku ucapkan untuk menyemangati diriku sendiri.
Setibanya di stasiun kota, aku berjalan
perlahan sambil memandangi bangunan tua disekitar jalan. Bangunan itu nampak
berdiri kokoh. Aku membeli tiket masuk, disepanjang antrean tersebut, ku pandangi
orang – orang disekitar ku. Hati kecilku berkata “mengapa disepanjang antrean ini, hanya orang dewasa dan orang lanjut
usia yang mendatangi tempat ini?”. Aku mengelilingi bangunan kota tua
tersebut dan sesekali membidik foto benda – benda bersejarah. Mulai dari foto –
foto perjuangan para pahlawan Indonesia sampai dengan penjara bawah tanah yang
diperuntukkan bagi pejuang bangsa Indonesia. Penjara itu sangat sempit dan
memiliki bau tak sedap. Tak dapat kubayangkan jika aku hidup dikala itu. Betapa
berat perjuangan para pahlawan Indonesia untuk mengibarkan sang saka merah
putih dan mendapatkan satu kata yang mutlak yaitu “MERDEKA”.Penjara itu
merupakan saksi bisu perjuangan para pahlawan.
Sejenak aku beristirahat dibawah pohon
rindang sambil ku review foto – foto yang berhasil kubidik. Kupandangi
orang – orang disekitarku, tak lama kemudian pandanganku terpusat pada salah
seorang kakek tua yang sedang duduk disudut bangunan kota tua sambil menangis.
Ku
hampiri kakek itu, “ Kek, bolehkah saya
duduk disamping kakek?”.
Kakek
itu berusaha menghapus air matanya. “iya
nak, silahkan duduk” jawab kakek itu dengan penuh kelembutan.
“Kakek, mengapa kakek
menangis? Maaf kalo saya lancang, siapa tahu saya bisa membantu kakek”.
Kakek itu tertunduk dan menangis. “Kek, maaf saya tidak bermaksud
membangkitkan kesedihan kakek”.
“Tidak nak, kakek tidak bersedih dan menangis
karena pertanyaanmu tadi” sambil memegang pundakku.
“Kakek hanya merasa
bersedih, tepat pada tanggal ini, 68 tahun yang lalu kakek berjuang demi berkibarnya
sang saka merah putih dicakrawala sampai titik darah terakhir”.
“Lalu mengapa kakek
bersedih dan menangis disini?”.
“Kesediahan kakek bukan karena kakek menyesali
perjuangan kakek kala itu, kesedihan kakek karena melihat fenomena yang terjadi
saat ini. Para generasi muda saat ini yang kurang memiliki rasa nasionalisme
dan patriotisme. Padahal generasi muda adalah titian pembangunan bangsa. Banyak
sekali generasi muda yang terlalu acuh dan mudah sekali mengabaikan sejarah
perjuangan bangsa ini. Bukankah mereka pernah mendengar kata – kata dari bapak
proklamator, Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya?Jika dulu perjuangan kakek dengan bersenjatakan bambu runcing dan
melawan penjajah. Generasi muda saat ini mengemban tugas yang berat, bukan
penjajah yang harus diperangi, mereka tidak harus bersenjatakan bambu runcing
lagi. Generasi muda saat ini sedang perang pikiran. Kalian jangan mudah
mengabaikan segala sesuatu yang baik untuk masa depan kalian, kalian harus
pandai menyeleksi dan berpikir panjang. Segala permasalahan dapat diselesaikan
dengan solusi jangka panjang bukan dengan arogansi. Kakek sangat prihatin
melihat fenomena yang terjadi saat ini. Masa depan bangsa ini ada ditangan
generasi muda, nak. Bangunlah bangsa ini dengan landasan moral yang baik dan
nilai – nilai luhur yang tertanam sejak usia dini. Bukankah kemerdekaan itu
diperoleh dengan perjuangan dan tumpah darah para pahlawan? Tak selayaknya
perjuangan itu diabaikan. Tak selayaknya kemerdekaan itu diisi dengan bermalas
– malasan untuk membangun bangsa ini. Nak, ini tugas yang berat, sanggupkah
kalian mempertahankan kemerdekaan dan mengemban tugas itu? Perjuangan kalian
adalah melawan bangsa kalian sendiri”.
Kutertegun mendengarkan nasihat kakek
itu, sejenak kupandang kerutan di wajah kakek berusia sekitar 90 tahun itu.
Tangannya yang dulu kokoh memegang bambu runcing dan suaranya yang lantang
mengucapkan kata “MERDEKA”, kini tangannya telah lemah dan gemetar, suaranya
terdengar lirih.
Aku menunduk dan menangis, Apakah aku seperti generasi muda
yang diharapkan kakek itu? Apakah aku mudah mengabaikan segala sesuatu yang
baik yang datang padaku?.
“Kakek, aaaa kuuu.. kek
.. kakek.. kakek dimana?”
Seketika
kakek itu lenyap.
“Kakek .. kakek ..
kakek dimana?”.
Padahal aku masih ingin berbincang dengan
kakek itu.
Muncul
dalam benak dan pikiranku “apakah kakek
itu pahlawan tak dikenal ?”
******
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.