Kudengar
sayup angin berbisik menyampaikan sebuah cerita tentang garis merah. Sudah tiga
kali mempercayainya, tapi ia belum menyampaikan sebuah berita. Lalu, angin datang dan duduk bersamaku,
kurasakan aroma daging yang lezat ia bawa dari tetangga sebelah. Bola matanya
memicing tajam seperti anak panah. Tiba-tiba ia merangsek dalam alirah darah
menghilangkan gejolak hati yang mulai resah. Suara riuh angin memecah
keheningan pagi ini dengan tanda dua garis merah. Ia sampaikan berita itu kepada
keluarga yang sudah menyimpan rindu hingga membuncah.
Sebelum
aku tahu, dua garis merah ini sempat aku ajak berangkat menyusuri bekas tapak
pecinta alam. Dalam ketinggian 1806 mdpl, kuajarkan ia untuk mensyukuri berkah
kehidupan yang diberikan Maha Pencipta. Jauh dari hiruk pikuk dunia yang terasa
mulai menua. Meski hidup didunia ini hanya sementara, tetapi jangan menjadikannya
sia-sia. Kelilingi kehidupan ini dengan kisah yang menjadikanmu semakin
berharga.
Dengan
ditemani suami, kutemui dokter kandungan terdekat untuk memastikan ia telah
hadir dalam kehidupan kami. Dokter mengajukan beberapa pertanyaan tentang hari
pertama haid dan haid terakhir. Melihat kalender lalu menentukan hari perkiraan
lahir (HPL). Sedikit penasaran, aku segera browsing
tentang rumus menentukan usia kehamilan dari siklus haid. Bagiku, ilmu baru ini
belum pernah aku terima dalam ruang lingkup pendidikan formal. Rumus Neagle ini
dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) dengan rumus = (Hari
+7), (Bulan -3), (Tahun +1). Untuk bulan yang tidak bisa dikurangi 3,seperti
Januari, Februari, Maret cukup +9 tetapi tahunnya tetap.
Jika
dilihat dari haid terakhir, kini usianya sudah memasuki minggu ke-6. Pengecekan
yang dilakukan adalah pemeriksaan berat badan, pemeriksaan perut, kadar hemoglobin
(HB), lingkar lengan, tinggi badan dan USG. Setelah semua pemeriksaan
laboratorium tersebut dilakukan, dokter mencatat dalam kartu pemeriksaan
kehamilan yang sering disebut Ante Natal
Care (ANC). Dalam kartu tersebut tertera tanggal pemeriksaan, berat badan,
vitamin yang diberikan. Saat itu, vitamin yang diberikan adalah asam folat,
penambah darah agar tidak anemia, kalsium, dan pereda mual serta muntah.
Meski
kehamilan pertama, ia tidak rewel, doyan makin segalanya. Aku merasakan mual
dan muntah sekali pada trimester awal. Saat itu, yang aku rasakan adalah nafsu
makan berkurang, badan mudah lelah dan rasa kantuk yang tidak dapat dibendung
lagi. Cara yang kulakukan agar kondisi fisik tetap fit ialah olahraga ringan,
konsumsi makanan sehat, menambah nutrisi dari Folamil Genio dan susu serta
mengurangi aktivitas fisik yang cukup berat. Di rumah, aku selalu dibantu oleh
suamiku. Aku mengagumi sosoknya yang cekatan dan cepat tanggap dalam segala
hal, salah satunya dalam hal pekerjaan rumah tangga.
Secara
harfiah, seorang manusia membutuhkan komunikasi untuk keberlangsungan hidup.
Walau masih didalam rahim, ia aktif untuk meminta kasih sayang dari orang
tuanya dengan gerakan pelan pada waktu – waktu tertentu. Setiap ayahnya akan
berangkat kerja, ia senang diajak komunikasi secara haptic melalui belaian dan pelukan. Mulai dari usia 6 minggu, ia
selalu kuberi sugesti berupa kalimat persuasif serta orientasi pada agama. Bagiku,
pendidikan anak sejak dini, dimulai dari dalam kandungan. Tumbuhkan ikatan
batin yang kuat antara orang tua dan anak.
Kulihat
almanak yang tergantung di tembok dinding ruang tamu. Saat ini ia telah
memasuki minggu ke-13, tetapi perutku belum terlihat membuncit. Kucari beberapa
referensi dari buku dan pengalaman ibu-ibu yang telah menjalani masa kehamilan.
Mereka menyatakan bahwa untuk kehamilan pertama, perut akan terlihat membesar
pada usia kandungan 17 minggu, ditambah lagi dengan postur tubuhku yang kurus.
Untuk mengobati rasa penasaran yang semakin bergejolak, segera aku mengambil second opinion ke dokter kandungan lain.
Informasi yang aku dapat sama dengan dokter sebelumnya. Seperti ngarai yang
sudah tidak tersumbat aliran airnya, pikiran mengalir lagi dengan tenang.
Pada
minggu ke-14 tepatnya pukul 12:00, tiba-tiba aliran darah merah keluar dengan
sangat cepat. Sebagai orang tua, kami tetap merasakan kepanikan yang bergejolak
didalam dada, namun kami tetap berpikir positif. Bergegas kendaraan MPV
meluncur ke rumah sakit. Aku tetap berusaha menenangkan kondisi suami yang
tengah dilanda kegelisahan. Lagi lagi, kami masih dalam lindungan Allah, karena
dokter memberikan informasi bahwa bayinya dalam kondisi baik, tetapi diberikan
obat penguat kandungan. Kekhawatiran itu terlepas lagi keluar dan hilang
terbawa malam.
Dua
minggu kemudian, darah merah datang kembali kepada kami dengan jumlah lebih
sedikit tetap frekuensinya sering. Entah segala rasa menjadi satu, khawatir,
sedih, panik dan larut dalam keadaan. Suamiku sedang diluar kota, segera aku
menghubunginya.
“Assalamu alaikum Ayah”
“Walaikum salam Bu, ada apa?
Bagaimana dengan anak kita? Sudah makan dan minum vitamin?”
“Sudah yah, oh iya, nanti kalo
pekerjaannya sudah selesai, segera pulang ya! Sudah jadwal pemeriksaan ANC
lagi, kalo tidak keberatan, tolong ditemenin ya?”
“Kamu daftar dulu, nanti kita jam 5
sore segera aku usahakan sudah di rumah. Kalo aku datang telat, kamu ke dokter
duluan, nanti kita ketemu disana”.
“Aku sudah daftar dengan nomor urut
antrian satu, jam 5 sore ya, yah? Assalamu alaikum”
“Walaikum salam”
Perbincangan 180 detik di telepon
telah membuatku sedikit tenang. Tak lama kemudian, darah merah datang bersamaan
dengan rasa mulas yang tidak tertahankan. Prinsipku, selama aku bisa
melakukannya sendiri, aku tidak ingin merepotkan orang lain. Segera kukendarai
kuda besi roda dua. Kulihat awan gelap dan hitam telah menyelimuti petang,
gemuruh petir saling bersahutan. Mulut dan hatiku terus berzikir dan
melafadzkan asma Allah mengharap anak kami tidak mengalami masalah yang
berarti.
Ditengah perjalanan, hujan deras
mengguyur sekujur tubuhku. Atas kekuatan Allah, saat itu terus kupacu kuda
besiku tanpa henti menerjang hujan dan jalanan yang banjir. Sesampainya di
rumah sakit, dokter kandungan yang bertugas belum tiba karena terjebak hujan.
Agar suamiku tidak khawatir, kukirimkan pesan padanya.
“Assalamu alaikum yah, aku sudah di
rumah sakit. Kalo sudah sampai, tolong segera menyusul”.
Dalam
perihnya sakit, kuusap perutku dengan penuh kelembutan. Sembari mengajaknya
berbicara seakan dia paham apa yang aku ucapkan.
“Sabar ya nak, kita sama-sama
dzikir ya supaya kamu baik dan tenang”
Dokter kandungan datang, langkah
kakinya menuju ke ruangan sudah aku perhatikan dari kejauhan. Tak lama
kemudian, perawat memanggil namaku. Kuceritakan kondisi dan keluhan yang aku
alami. Bagiku, ucapan dokter itu merupakan garam yang ia taburkan pada luka
yang menganga.
“Baiklah, mari kita cek bersama bu!
Jika pendarahan disertai dengan rasa keram perut, kemungkinannya hanya 3 yaitu
janinnya tidak berkembang, bayinya meninggal dan bayinya hanya sakit. Kita
sama-sama berdoa ya semoga bayinya hanya sakit”.
Aku
berbaring diatas tempat tidur, sebelah kanan ada alat USG dan beberapa meter
diatas kepalaku ada layar monitor berukuran 14 inch. Rasa tak kuasa, tapi aku
harus memastikan kondisinya baik-baik saja dalam layar itu. Ternyata, kenyataan
berkata lain. Statement dokter
mengatakan bahwa bayinya meninggal. Saat itu, bagaikan disayat dengan ribuan
sembilu dan disambar petir ditengah teriknya matahari.
Dokter
meminta persetujuan untuk melakukan kuretase kepadaku dengan dengan sedikit
intimidasi.
“Bu, karena bayinya meninggal, kita
harus segera kuret. Kalo tidak segera dikuret, dapat membahayakan kondisi ibu. Coba
ibu bayangkan, daging busuk ada didalam rahim ibu selama berbulan-bulan, itu
sudah menjadi apa didalamnya? Ibu bisa bayangkan itu? Rahim itu asset yang
berharga bagi seorang wanita, bu. Jangan sampai iu kenapa-kenapa karena telat
dikuret”.
“Baik dok, saya menunggu suami saya
datang dulu untuk mempertimbangkan”
Selang
lima belas menit kemudian, kuda besi dengan ditunggangi dua orang diatasnya
tiba didepan rumah sakit. Kulihat sosok pria yang tinggi dan atletis
tergesa-gesa memasuki lobby. Betul,
dialah suamiku. Mukanya terlihat panik dan khawatir. Kuberikan ia segelas air
teh untuk menghangatkan tubuhnya yang basah kuyup tersiram hujan. Setelah
rileks, kuberikan buku pemeriksaan ANC dan hasil foto USG. Refleks secara
manusiawi, ia peluk tubuhku dengan erat.
“Allah lebih sayang sama anak kita,
yang terpenting adalah kondisi kamu saat ini. Ibunya harus segera diselamatkan”
Setelah
mengetahui cerita tentang dokter tersebut memberikan pelayanan dengan cara
mengintimidasi pasien. Kami memutuskan untuk melakukan kuret di rumah sakit ibu
dan anak yang lainnya. Di rumah sakit yang ini, kami mendapatkan pelayanan
prima dari tim medis. Bahkan ada beberapa penyuluhan dan pengetahuan yang
diberikan kepada kami sebagai calon orang tua. Di UGD, bidan melakukan
pemeriksaan pertama dan belum ada pembukaan. Sehingga kami diizinkan untuk
pulang terlebih dahulu tetapi dengan catatan apabila terjadi pendarahan hebat
dalam 1 jam ganti pembalut beberapa kali, maka disegerakan untuk kembali ke
rumah sakit tersebut atau rumah sakit terdekat.
Sepertinya
proses peluruhan janin yang keguguran tersebut menunggu proses alamiah dari
dalam tubuh. Karena dokter tidak memberikan obat atau sejenisnya saat kami
diizinkan pulang. Keesokan harinya, tepat pukul 19.00 WIB setelah adzan isya,
perut melilit dan keram, darah merah yang keluar sudah dalam bentuk gumpalan
merah pekat. Dalam waktu satu jam, sudah 3 kali ganti pembalut. Tindakan awal
yang dilakukan oleh pihak rumah sakit ialah pemeriksaan pembukaan pada lubang
vagina. Setelah itu, kurasakan rasa ingin buang air kecil tak tertahankan. Bersamaan
dengan buang air kecil, keluar segumpal darah berukuran 9 cm. Ternyata itulah
plasenta serta anak kami yang telah meninggal.
Sembari
menunggu suami dan orang tuaku menyelesaikan proses administrasi. Kuisi waktu
dengan muhasabah diri, sebelum masuk ke ruang operasi. Jam 11 malam, kurasakan
pengalaman pertama menjadi orang tua yang melahirkan anaknya dengan normal
serta operasi dilatasi dan kuretase. Bius spinal disuntikkan kedalam tulang
belakangku. Perlahan kakiku merasakan kondisi seperti kesemutan lalu merambat
hingga ke pinggang. Dokter anestesi disebelah kiri sembari mengajak
berkomunikasi fatik. Alat pengecek tensi darah dipasang lengan kanan dan kiri,
terus bekerja dalam waktu beberapa menit untuk memastikan tensi darah selama
operasi dalam kondisi normal. Lampu operasi dinyalakan, dokter kandungan
datang. Meski dalam kondisi dibius, aku merasakan alat medis itu masuk dalam
rahimku. Bayangan aktivitas yang mereka lakukan terlihat dari pantulan cahaya
lampu diatasku.
Dua
puluh menit kemudian, dokter kandungan itu menyatakan operasi telah selesai
dilaksanakan. Beberapa jaringan yang berhasil dikeluarkan dari dalam rahim
dibawa untuk dilakukan pengecekan di laboratorium. Keluar dari ruang operasi,
sekujur tubuh dingin hingga menggigil, gemertak gigi saling berbeturan menahan
dingin dan setengah badan yang mati rasa. Perawat menyelimutiku dan mengatakan
bahwa kondisi dingin tersebut adalah efek obat bius.
Ruang
transit ini untuk pemulihan dari efek obat bius. Mulai dari jam 12 malam hingga
adzan subuh menjelang, kurenungi betapa banyak dosa yang telah kuperbuat kepada
orang tuaku. Ibu rela mengorbankan hidup dan matinya untuk kehidupan anak.
Itulah yang dinamakan hidup diantara hidup dan mati. Ayah berjuang untuk
memberikan kehidupan yang layak untuk keluarga. Orang tua tidak pernah
mengharap apapun kecuali anaknya agar tetap hidup bahagia. Begitu mudah kita
menjadikan hatinya terluka. Sesibuk apapun, ajak mereka bicara. Karena mereka
yang mengajarkan kita tentang kata. Jangan mudah patah semangat dan lelah, karena
mereka pantang menyerah mencari nafkah. Kita tidak akan pernah tahu, bahwa
kesuksesan kita berawal dari sebuah restu orang tua.
We never know the love of a parent
till we become parents ourselves yang berarti kita
tidak pernah tahu kasih sayang orang tua samapai kita menjadi orang tua diri
kita sendiri. Terima kasih ayah dan ibu, sungguh bakti kami takkan cukup
membalas keikhlasan dan ketulusan cintamu kepada kami. Sebagai orang tua, kami
telah gagal dalam menjaga amanah, semoga kami bisa menjadi orang tua yang baik
seperti kalian menjaga dan merawat kami hingga usiamu telah renta.
Dua
garis merah, terima kasih telah mengajarkan kami tentang gejolak amarah. Datang
dan pergi tiba-tiba tanpa arah. Sekarang dua garis merah terbingkai rapi dalam
untaian sejarah.
***
SP 041118
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.