Sunday 29 November 2020

SENYUM IBU PERTIWI KEPADA ANAK NEGERI DARAH BETAWI

 

Pesatnya perkembangan zaman mulai mengikis nilai kebudayaan yang tertanam dalam diri setiap individu. Generasi zaman now sudah mulai terkontaminasi dengan nilai kebudayaan kebarat-baratan. Gengsi tinggi jika tidak mengikuti perkembangan zaman yang sedang viral dan trending. Serasa ketinggalan zaman bila tidak ikutan menggandrungi nilai yang secara intisarinya saja belum dipahami begitu mendalam. Kebudayaan sendiri justru diabaikan. Jika ditanya tentang kebudayaannya, mereka kebingungan. Budaya sendiri malah diapresiasi dan diakui sebagai kebudayaan milik bangsa lain. Jika tidak ada yang melestarikan budaya sendiri, lambat laun kita akan kehilangan identitas bahkan jati diri kita sebagai bangsa.

Beruntungnya Syarif Hidayatullah, pemuda 24 tahun keturunan betawi, asal Kampung Dadap, Tangerang. Kerap disapa oleh lingkungan sekitarnya Bang Arif. Budaya betawi telah mendarah daging didalam dirinya. Hal ini diyakini didalam dirinya sebagai warisan turun temurun yang mendarah. Betapa tidak, sejak berusia 3 tahun ia sudah banyak diajari kesenian, adat dan budaya betawi. Baginya, betawi adalah kehidupannya selama ini. Pijakan dari masa ke masa hingga akhir hayat menutup mata.

Bukan tanpa alasan Bang Arif begitu mencintai budayanya, alasannya adalah segala hal dalam budaya betawi adalah kebutuhan hidup. Ciri khusus yang ia bangun dalam dirinya adalah cara berpakaian yang tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Dia selalu mengenakan pangsi betawi kemanapun ia pergi. Sekalipun berangkat kerja, Bang Arif selalu menggunakan pangsi betawi itu.

Berdasar penelusuran saya mengikuti kisah perjalanan anak darah betawi ini, ia sempat mendapat teguran keras dari tempatnya bekerja. Dianggap nyeleneh dan tidak taat pada aturan yang berlaku dalam perusahaan dan kesepakatan perjanjian kerja. Dengan menjunjung nilai kearifan dan nilai keluhuran budaya betawi, ia membuka cara pandang yang baru bagi Direkturnya.

Awalnya Bang Arif mengira permasalahan ini hanya akan berakhir pada surat peringatan atau paling parah di PHK dari perusahaan. Tetapi kisah malah berbalik menjadikan ia bertemu dengan jajaran orang nomor satu di perusahaan tersebut. Bang Arif justru mendapat keberuntungan dari sikapnya yang teguh mempertahankan budayanya. Dia diberikan modal untuk mendirikan Sanggar Seni Budaya Betawi di wilayah tempat tinggalnya. Mujurnya, ia masih diperkenankan bekerja di perusahaan tersebut tanpa menghilangkan ciri khusus didalam dirinya.

Kisah pertemuannya dengan Direktur viral antar karyawan. Menarik simpati dan empati bagi sebagian besar karyawan. Dia mendapatkan dana hibah dari karyawan yang lain. Sontak namanya semakin dikenal, ditambah lagi dengan penampilannya yang nyentrik mengundang banyak perhatian publik. Seperti artis yang sedang naik daun, karyawan lain juga meminta berswafoto bersama Bang Arif.

 

Setelah bekerja selama 6 bulan, Bang Arif akhirnya memutuskan untuk fokus mengurus Sanggar Seni Budaya Betawi miliknya di Kampung Dadap, Tangerang. Ia memilih untuk mengabdikan diri pada darah suci yang mengalir dalam dirinya. Tawaran gaji yang lebih besar sudah sempat terlontar sebelum pengunduran dirinya. Tetapi ia teguh untuk menjalani kehidupannya bersama dengan Betawi. Banyak anak negeri yang tidak tahu budaya sendiri. Dia menanamkan tekad kuat untuk mendidik dan mengajarkan Kesenian Betawi agar tidak punah dimakan usia dan dimakan lupa.

Bang Arif mengajar tanpa dibayar. Dia lah anak zaman now yang tak lupa siapa leluhurnya. Generasi milenial yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan dengan gaya dinamis. Gaya blak-blakan dalam berbicara membuat materi mudah dipahami oleh murid-muridnya. Malahan ia terkesan humoris dan menyenangkan. Dengan bantuan dari orang tuanya yaitu seorang penggiat seni budaya betawi, Bang Arif makin mengembangkan sanggar seni itu bukan hanya di tempat tinggalnya.

Bang Arif bukan hanya menjadi pengajar tetapi juga menjadi murid. Dia terbuka terhadap segala kritik dan saran tetapi tetap menjunjung keluhuran nilai dirinya. Berbekal keahlian yang ia miliki, ia berani tampil dalam festival seni kancah lokal dan nasional. Agenda tahunannya adalah menjadi pengisi acara di Pekan Raya Jakarta (PRJ). Dalam Ajang Festival Seni, Bang Arif selalu bekerja dibelakang panggung. Ia memberikan kesempatan bagi murid-muridnya untuk tampil didepan. Tak ayal dengan konsepnya yang begitu fantastis mendapat banyak ajungan jempol dan tepuk tangan yang meriah dari penonton. Dari sini, saya hanya melihat ia tersenyum menyaksikan kesuksesan para murid-muridnya mendapatkan penghargaan bergengsi dibidang seni.

Ketika ditanya, mengapa ia menjadi aktor dibelakang panggung? Padahal jika ia tampil sudah pasti ia yang akan mendapat penghargaan itu? Bang Arif hanya menjawab dengan senyuman. Ia berlalu dengan jawaban yang masih mengambang. Tetapi sudah jelas dari situ, Budaya Betawi yang tertanam dalam dirinya sudah mendarah daging. Ia hanya berbuat bagaimana caranya mewariskan budaya itu turun temurun bukan untuk mengeruk keuntungan.

Masih dengan Pangsi Betawi berwarna merah dan pecinya. Bang Arif menuturkan kalimat sederhana tetapi membekas didalam jiwa. “Gue hidup dari kecil sama Betawi, jadi gue bukan cuma mau menjadi abdi seni. Gue harus menciptakan anak negeri yang tahu diri, tahu seni”. Sore ini dibawah rintik hujan, Bang Arif mempersiapkan seperangkat alat kesenian gambang kromong, tanjidor dan lain-lain. Ditambah beberapa murid diarahkan untuk mementaskan sebuah lenong betawi sederhana tentang kebaikan manusia yang berbudi. Disisi lain, ada seorang murid yang sudah mempersiapkam kotak istimewa berwarna putih dengan pita berwarna merah diatasnya. Didalam kotak tersebut ada baju Pangsi Betawi lengkap dengan atribut lainnya.

Selang beberapa waktu, mobil mewah terparkir di Sanggar Seni miliknya. Ternyata, Bang Arif kedatangan tamu. Disambut dengan pertunjukan seni palang pintu. Dia adalah Direktur yang dulu ia kenal. Meski sudah tidak bekerja di perusahaannya, Bang Arif tetap menjaga hubungan baik dan silaturahmi. Dengan jamuan sederhana, kerak telor dan bir pletok buatan ibu Bang Arif.  Direktur itu nampak asik menikmati pertunjukan lenong dibawah guyuran hujan yang semakin lebat. Pertunjukan berakhir, hujan reda, mereka berbincang dan Bang Arif memberikan sebuah persembahan terbaik dari Sanggar Seni Budaya Betawi berupa Pangsi Betawi yang sama seperti yang ia kenakan.

Sembari berpamitan, Direktur itu menepuk bahu Bang Arif dan bertutur “tetaplah menjadi anak Betawi milik negeri. Ibu Pertiwi selalu bangga kepadamu, nak!”.

 

***

0 comments:

Post a Comment