Aku
adalah seorang wanita lajang berusia 29 tahun. Bagiku, usia tersebut bukanlah
usia yang muda lagi. Meskipun orang disekitarku selalu beranggapan jika aku
adalah seorang wonder woman, namun aku
hanyalah seorang manusia biasa. Manusia yang terlahir sesuai dengan
fitrahnya yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk ekonomi.
Sebagai
makhluk individu, aku berusaha memenuhi segala kebutuhanku seperti makan,
minum, sandang (pakaian ) dan papan ( rumah / tempat tinggal). Dari segi
makhluk ekonomi, aku berusaha memenuhi segala kebutuhanku tersebut dengan terus
bekerja keras dan bekerja cerdas untuk mendapatkan penghasilan. Sedangkan
fitrah yang ku jalani sebagai makhluk sosial, aku berusaha menjalin hubungan yang
baik dengan lingkungan sosial disekitarku.
Banyak
orang beranggapan kehidupanku sangat sempurna. Memiliki pekerjaan dan jenjang
karir yang jelas, penghasilan tetap, usaha yang kujalani pun berjalan lancar,
memiliki banyak teman dan relasi, dan segala sesuatu yang kuinginkan tidak
sulit untuk kuwujudkan. Bagaikan sebuah sulap Pak Tarno, mohon dibantu ya jadi
apa ... tarraaaa... keinginanku langsung terwujud didepan mataku. Semua itu
kuraih bukan seperti sulap pak Tarno yang serba instan. Mie instan saja masih
butuh suatu proses untuk siap disajikan dan disantap. Yang kudapatkan selama
ini membutuhkan proses yang panjang dan berliku.
Dalam
kamus hidupku, aku mengenal tiga fase peralihan seorang wanita. Fase tersebut
yaitu fase koleksi, seleksi dan resepsi. Fase koleksi biasanya terjadi pada
saat transisi dari anak – anak menjadi remaja. Pada fase tersebut, wanita
memiliki kecenderungan untuk melakukan pendekatan dan dijadikan sebagai ajang “ngumpulin cowok yang cocok dengan feel kita”
(kalo kata ABG sih begitu).
Fase kedua yaitu fase
seleksi, fase ini merupakan tindak lanjut dari fase koleksi. Setelah kita melakukan
koleksi, kini saatnya memilih sesuai dengan kata hati kita.
Kemudian
menjalani sebuah hubungan yang terbingkai indah dalam sebuah kata “CINTA”. Jika
hubungan tersebut memiliki komitmen yang kuat dilandasi dengan cinta yang
tulus, maka akan berlanjut pada pelaminan dan bahtera rumah tangga yang
diberkahi Tuhan. Aamiin ...
Itulah
yang diharapkan seluruh wanita dimuka bumi ini. Layaknya wanita lajang yang
lain, aku juga mengharapkan seorang belahan jiwa yang akan mendampingiku hingga
akhir hayat. Karena mengingat usiaku yang terhitung tak muda lagi. Mungkin
sesuai dengan kamus hidupku, kini aku sedang berada dalam fase resepsi. Tapi hingga detik ini, aku belum juga menemui
jodohku.
Kenapa?
Karena aku terlalu memandang pria secara perfeksionis? Bukan!. Karena pilih –
pilih sesuai dengan kata hati? Bukan juga! Terus karena apa dong? Inilah
jawabannya, karena aku masih memiliki trauma yang mendalam terhadap ikatan
cinta yang serius.
Dulu,
aku pernah menjalani hubungan dengan seorang pria selama dua tahun. Ketika kami
merayakan anniversary yang kedua, ia
memberikan kado teristimewa dalam hidupku yaitu sebuah cincin pertunangan.
Ia
mengenakan cincin tersebut jari manisku dan ia berjanji akan segera meminangku setelah
wisuda. Namun, hingga hari yang kunantikan telah tiba, kabar dan keberadaan
tunanganku seakan raib ditelan bumi.
Hancur!
Kecewa! Sedih! Terluka! Itulah yang kurasakan hingga kini. Kabar dan alasannya
mengapa ia meninggalkanku dihari bahagia tersebut pun tak pernah ku tahu.
Mungkin kalo bahasa anak ABG sekarang, pria itu adalah “Pemberi Harapan Palsu (PHP)”.
Sejak
kejadian tersebut, aku berusaha menutup hatiku untuk pria. Karena kredibilitasku
mulai berkurang terhadap para pria. Takut jika kejadian tersebut terulang
kembali.
Malam
ini, aku mendapatkan undangan pernikahan dari salah satu teman kantorku.
Rasanya kakiku ini enggan melangkah untuk menghadiri acara tersebut. Pasti aku
akan menjadi bahan cemoohan teman – temanku. Kalimat inilah yang akan mereka
lontarkan “Hai, si A sudah menikah,
padahal mereka baru kenal beberapa bulan yang lalu, terus kamu kapan mau
nyusul?”. Ahhhh ... sebuah pertanyaan retorika, pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban. Terkadang kutinggalkan mereka pergi tanpa sepatah katapun
terlontar dari mulutku. Yahh manusia kan sudah memiliki garis hidup yang telah
ditetapkan Tuhan, ibarat peribahasa “Takkan
lari gunung dikejar”. Jika Tuhan sudah mengizinkan kita untuk dipertemukan
dengan jodoh kita, maka akan tiba kok masanya untuk ke pelaminan.
Setelah
berpikir beribu – ribu kali, akhirnya kuputuskan untuk menghadiri acara
pernikahan tersebut. Dengan balutan busana berwarna putih, high heel coklat,
dan bandana berwarna hitam menghiasi rambutku, aku melangkahkan kaki memasuki
gedung megah yang dihiasi dengan janur kuning, dan rangkaian bunga yang cantik
semakin memperindah papan yang bertuliskan “Happy
Wedding”.
Aku
mungkin bukan seorang peramal terkenal dan hebat seperti Mama Lauren ataupun Ki
Joko Bodo. Namun prasangkaku ternyata benar, dalam acara tersebut hanya satu
kalimat yang mereka lontarkan padaku “Kapan
nyusul?”. Sebuah kalimat yang
sederhana dan terdiri dari dua suku kata namun berdampak besar bagi sebuah
hubungan, baik dampak positif maupun negatif. Jika ditinjau dari dampak
positif, ucapan tersebut dapat memotivasi seseorang, sedangkan dampak negatif
yang sering terjadi adalah membuat mental down
dan pembunuhan karakter. Wow
amazing... Lagi – lagi aku mengeluarkan jurus andalanku, “Ya udah nanti tenang aja, kalo udah waktunya juga pasti diundang kok”.
Jika pertanyaan mereka sudah melebar dan tak terarah, kutinggalkan mereka
untuk mencicipi hidangan yang telah tersedia.
Acara
pernikahan ini, bertemakan modern wedding
dengan adat istiadat betawi. Hidangan yang disediakan sangat banyak,mulai dari
makanan berat seperti nasi, gurame asem manis, daging asem manis, kerang saus
padang hingga kerak telor.
Namun,
aku tertarik untuk mencicipi roti buaya dan zuppa
soup disalah satu sudut ruangan. Perlahan aku berjalan melewati kerumunan
para tamu undangan. Pikiranku hanya terpusat pada roti buaya dan zuppa soup. Waww ... rasanya roti buaya
itu sudah melambai – lambai dan berkata “Ayoo
segera cicipi aku”.
Tiba – tiba “pranggg ...
prinnggg...” (suara pecahan piring).
“Ehh sorry – sorry ya? aku
bener – bener enggak sengaja”.
“Iya enggak apa – apa kok,
sudah biar aku aja yang bersihin pecahan piringnya. Tangan kamu enggak apa –
apa kan?”.
“Hahh? Kamu?”. (saling
memandang)
“Ruby? Kamu lagi ngapain
disini?”.
“Lagi menghadiri acara
pernikahan temenku, kamu sendiri?”.
“sama, pengantin prianya
temen kantorku”.
Kutatap matanya dan sesaat
terbayang masa lalu yang kelam tersebut. Bergegas kutinggalkannya yang sedang
sibuk membersihkan pecahan piring.
“Ruby, tunggu!”.
Aku
tak menyangka jika hari ini aku akan bertemu kembali dengan Bagus, mantan
tunanganku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, rasanya kesal jika teringat
semua kesalahan yang telah ia lakukan padaku. Tapi, ketika kutatap matanya,
tatapannya seolah – olah membangkitkan dan menumbuhkan kembali rasa cinta yang
telah padam.
“Hai Ruby, aku cari kamu
kemana – mana, ternyata kamu disini”.
“Iya”.
“Kamu masih marah ya sama
aku? Pasti kamu benci sama aku ya? enggak apa – apa kok kalo kamu mau
melampiaskan semua kemarahan kamu dengan memukuli ataupun melakukan hal apapun
yang kamu suka kepadaku. Aku rela, aku sudah melukai hati kamu”.
“Aku sudah maafin kamu kok,
kamu tenang aja. Ya sudahlah, kamu kan Cuma masa laluku saja”.
“Terima kasih ya Ruby, kamu
sudah bersedia maafin aku. Aku tahu aku salah, tapi satu hal yang perlu kamu
ketahui, setelah acara wisuda itu, aku sudah mempersiapkan untuk acara
pernikahan kita. Namun, orang tuaku berkata lain, mereka tiba – tiba mendapatkan
tender jangka panjang di Amerika dan mereka membutuhkan tenaga ahli seperti
aku. Aku harus membantu mereka, kupikir dengan penghasilan yang kudapat disana,
aku akan mampu membiayai seluruh persiapan acara pernikahan kita tanpa campur
tangan orang tuaku dan orang tua kamu. Jujur Ruby, aku malu sama kamu, aku malu
sama orang tuaku, aku malu sama orang tua kamu. Aku ini seorang pria, aku akan
menjadi imam untuk keluarga kecilku nanti. Masa kita harus disuapin terus sama
orang tua kita? aku malu Ruby. Memang pernikahan kita dipaksakan oleh
perjodohan orang tua kita, namun cinta dan sayangku tulus untukmu. Pada waktu
itu kita masih berusia 22 tahun. Aku belum siap Ruby”.
“Terus kenapa kamu
menyanggupi untuk menyelenggarakan acara pernikahan kita kalo kamu belum siap?
Bagiku, pernikahan itu sesuatu yang sakral dan bukan untuk bahan mainan seperti
ini. Seharusnya kalo kamu memang belum siap, kamu bilang, komunikasikan
semuanya sama aku sama orang tuaku. Jangan menghindar dari permasalahan seperti
itu. Masalah ini sudah tujuh tahun lalu, Gus. Susah ya buat kamu menghubungi
aku dari sana. Sekarang zamannya perkembangan teknologi dan gadget yang serba
canggih untuk komunikasi, susah ya untuk melakukan komunikasi? Kepergian kamu
ke Amerika itu bukan merupakan penyelesaian masalah, melainkan kamu sedang
menumpuk dan menggantung permasalahan kamu hingga hari ini tiba, hari pertemuan
kita yang tak terduga”.
“Aku tahu aku salah Ruby,
kamu boleh menghukum aku atas semua kesalahan yang telah kulakukan. Maaf Ruby.
Aku baru pulang dari Amerika kemarin Ruby, dan harapanku adalah bertemu dengan
kamu. Dan Tuhan telah mempertemukan aku dan kamu disini. Ruby, kumohon tatap
mataku. Aku mau nanya beberapa hal sama kamu dan aku berharap kamu menjawab
pertanyaanku dengan jujur. Apa kamu masih mencintaiku seperti dulu?”.
“Bagus, asal kamu tahu, rasa
cintaku sama kamu, enggak akan pernah padam dan pudar, bahkan ketika kamu pergi
meninggalkanku, aku berharap bisa bertemu dengan kamu kembali bagaimanapun
keadaan kamu. Dan hari ini adalah hari yang kutunggu sejak tujuh tahun yang
lalu”.
“Apakah kamu bersedia
mengikat cinta kita dalam sebuah komitmen dan jenjang yang lebih serius ke
pelaminan?”.
“Enggak, aku takut kalo
kayak dulu lagi?”.
“Yah ... kok gitu? katanya
kamu cinta sama aku? Emangnya kamu enggak mau menjalani bahtera rumah tangga
bersamaku? Kan sekarang aku sudah mandiri, sudah enggak disuapin terus sama
orang tuaku. Aku janji aku enggak akan ninggalin kamu seperti dulu. Hukum aku
kalo sampe itu terjadi lagi?”.
“Iya, aku bercanda, Gus. Aku
mau menikah dengan kamu. Janji ya?”.
“Janji, aku janji sama kamu.
ehh tapi aku sekarang lagi menyelesaikan tesisku untuk S2 di Amerika? Gimana
dong? Kamu mau nunggu sampe aku mendapatkan gelar S2 ku?”
“Yah ... entar kayak dulu
lagi, aku udah nunggu sampe kamu wisuda, tapi lamaran kamu juga musnah seiring
dengan gelar sarjana yang kamu peroleh”.
“Hehehehehe ... bercanda
Ruby, aku sudah mendapatkan gelar S2 ku bulan lalu kok. Nih fotonya” (sambil
menunjukkan foto diponselnya).
“Ahhhh ... hampir saja copot
jantungku. So? Kapan kita akan
melaksanakan pernikahan kita?”.
“Secepatnya dan dalam waktu
dekat ini”.
“Terima kasih ya, Gus? Aku
sayang dan cinta sama kamu”.
“I Love You too my princess, Ruby”
Kini
penantianku telah tiba, kali ini aku tidak menerima undangan, melainkan aku
menyebarkan undangan. Di gedung yang megah dan berhiaskan rangkaian bunga yang
cantik semakin memperindah papan bertuliskan :
“HAPPY
WEDDING BAGUS & RUBY”
Dari
kisah dan pengalaman yang kelam itu aku cukup mendapatkan pelajaran hidup yang
berharga untuk masa depanku. Bahwa suatu hubungan yang harmonis adalah hubungan
yang berlandaskan pada komunikasi yang baik, kejujuran, kesetiaan, kesabaran
dan komitmen yang kuat serta tak lupa pula selalu berprasangka baik pada Tuhan
bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah yang telah digariskan dalam hidup kita.
Sepertinya
aku harus menambahkan kosakata dalam kamus hidupku, fase transisi wanita
menjadi empat yaitu Fase koleksi, Fase
Seleksi , Fase Resepsi dan Fase
Berbakti pada suami.
Cerita yang mengharukan.. Keep posting ya...
ReplyDeleteCatatanlynglyng.blogspot.com datang berkunjung. Salam
jadi kapan novelnya terbit? :v
ReplyDeleteClick to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.