Saturday 6 November 2021

MENELAAH SEJARAH PANDEMI BLACKDEATH DI EROPA DI MASA PANDEMI COVID-19

 

Sumber Gambar : IDN Times 

Virus Corona bukanlah pandemi pertama di dunia. Sepanjang sejarah, pernah ada beberapa wabah maut di planet ini. Sekarang zaman sudah canggih, tapi bagaimana orang di zaman dulu mengatasi wabah yang mengancam jiwa?

Salah satu wabah besar yang tercatat dalam sejarah adalah Black Death, atau Bubonic Plague yang terjadi tahun 1347-1350. Mungkin bisa diadu dengan COVID-19, mana yang lebih berbahaya.

Black Death adalah julukan untuk penyakit Pes. Menurut Encylopaedia Britannica, Ini adalah penyakit akibat bakteri Yersinia pestis. Penyakit ini ditularkan dari tikus ke manusia dengan perantara kutu.

Penyakit pes ini terbagi 3 yaitu Bubonic Plague atau pembengkakan kelenjar getah bening, Pneumonic Plague atau infeksi paru-paru dan Septicemic Plague atau infeksi pada darah. Yang paling banyak terjadi di Eropa abad ke-14 adalah Bubonic Plague.

Livescience menulis, pasien bisa meninggal hanya dalam 4 hari setelah tertular dengan demam tinggi, muntah, dan kelenjar getah bening bengkak dan pecah. Sungguh mengerikan. Diperkirakan, 25 juta orang atau 30% populasi di Eropa meninggal akibat wabah Pes antara tahun 1347-1351.

Ini masih jauh lebih mengerikan dari COVID-19. Data terbaru COVID-19 mencatat sudah ada 207.000 kematian akibat COVID-19 sampai saat ini.

Encyclopaedia Britannica menyebutkan wabah pes dari China terbawa dalam invasi bangsa Mongol di Jalur Sutra menuju Crimea tahun 1347. Di sana banyak kapal-kapal dagang dari Genoa, Italia. Tikus-tikus di kapal Italia ketularan kutu-kutu pes dari tikus Asia dan terbawa pulang ke negeri asalnya. Dari situlah Italia ketularan wabah Black Death yang sangat parah. Dari Italia, Black Death menyebar ke seluruh wilayah Eropa Barat.

Dilansir dari Irish Time, saat wabah Black Death sampai ke Inggris tahun 1665, metode yang umum dilakukan untuk mencegah penularan adalah lokalisir. Dewan kota mengumumkan semacam perintah siaga wabah.

Langkah-langkahnya antara lain menyalakan api unggun untuk membersihkan udara, anjing liar ditangkapi, makanan tidak sehat dirazia dari pasar, kumpul-kumpul dilarang dan yang dianggap paling kontroversial saat itu adalah mengunci warga di rumah masing-masing.

Pelajaran dari Black Death adalah, sebuah wabah bisa datang dari mana saja bahkan tempat yang jauh dengan perantara apa saja dari kutu sampai udara. Itu sebabnya kita semua mesti siaga.

Maut Hitam menimbulkan dampak drastis terhadap populasi Eropa, serta mengubah struktur sosial Eropa. Wabah ini memberi pukulan serius terhadap Gereja Katolik Roma, institusi keagamaan sangat berpengaruh pada masa itu, serta mengakibatkan perburuan dan pembunuhan terhadap kaum minoritas seperti Yahudi, Muslim, pendatang, pengemis, serta penderita lepra. Ketidakpastian untuk tetap bertahan hidup membuat suatu kecenderungan yang tak sehat pada masyarakat untuk hidup hanya untuk hari ini, seperti digambarkan oleh Giovanni Boccaccio pada The Decameron (1353).

Kehilangan Norma dan Sosialisasi Masyarakat

Giovanni Boccaccio, seorang penulis asal Italia hidup melewati wabah karena melanda kota Florence pada tahun 1348. Pengalaman ini mengilhaminya untuk menulis ‘The Decameron‘, kisah tujuh pria dan tiga wanita yang melarikan diri dari wabah penyakit dengan melarikan diri ke sebuah villa di luar kota. Kisah Giovanni sangat menggambarkan kondisi ratus tahun pertengahan di Eropa pada waktu itu.

Masing-masing warga menghindari warga lainnya, nyaris tidak benar tetangga yang saling berkomunikasi, saudara tidak pernah menghubungi atau nyaris tidak pernah mengunjungi satu sama lain. Wabah penyakit ini lebih buruk dan luar biasa sampai mengakibatkan ayah dan ibu menolak untuk menjenguk anak-anak mereka yang terjangkit wabah, seolah-olah mereka tidak miliki anak.

Banyak pria dan wanita jatuh sakit, dibiarkan tanpa perawatan apapun kecuali dari rasa sosial sahabat (tapi hanya sedikit), meskipun banyak yang mencoba membayar dengan upah tinggi tapi tidak hadir banyak kesempatan memperolehnya.

Nasib yang sangat menyedihkan menimpa kalangan kelas bawah dan sebagian akbar kelas menengah. Kebanyakan dari mereka tetap tinggal di rumah, hidup dengan kemiskinan dan keinginan keselamatan, ribuan orang jatuh sakit. Mereka tidak memperoleh perawatan dan perhatian, nyaris semua penderita wabah penyakit meninggal. Banyak yang mengakhiri hidup di jalan-jalan malam hari dan siang hari, meninggal di rumah-rumah mereka yang dikenal mati karena tetangga mencium bau mayat membusuk. Mereka yang lebih peduli tergerak oleh amal agama hendak menyingkirkan mayat-mayat yang membusuk. Dengan bantuan porter, mereka membawa mayat (yang terkena wabah penyakit) keluar dari rumah dan menaruhnya di pintu.

Berikut 7 cara tidak lazim yang digunakan untuk mengusir Maut Hitam di masa lampau.

1. Menyebarkan wewangian

Teori Miasma — yang mengatakan kalau penyakit disebabkan oleh udara dan bau busuk — memiliki pengaruh besar pada konsep wewangian sebagai pencegah penyakit.

Seperti yang dijelaskan dalam laman Science Direct, masyarakat Abad Pertengahan memang percaya kalau menghilangkan bau tak sedap adalah salah satu cara yang ampuh untuk menghentikan penyakit menular seperti Maut Hitam.

2. Menggigit bawang putih dari balik topeng

Selain menggunakan wewangian untuk menjauhkan diri dari penyakit menular, para dokter pada Abad Pertengahan juga sering mengenakan topeng berparuh agar tidak mencium bau busuk para korban Maut Hitam.

Meskipun tampak aneh dan tidak masuk akal, topeng dan kostum yang mereka pakai adalah jas hazmat berteknologi tinggi pada masanya. Seperti dikutip dari Science Blogs, kostum itu sendiri terbuat dari kain yang dilapisi lilin untuk mencegah darah dan cairan tubuh pasien agar tidak masuk ke dalam pakaian mereka.

Sarung tangan kulit membuat mereka tidak menyentuh pasien secara langsung, sedangkan irisan kristal yang dipoles di bagian mata topeng mereka memungkinkan mereka untuk melihat dengan jelas, tetapi di satu sisi tetap menjaga agar cairan dari luar tidak masuk ke dalam mata mereka.

Namun dari sekian banyak alat yang dipakai, topeng berparuh lah yang dianggap paling efektif oleh mereka. Topeng itu sendiri diisi dengan bumbu dan rempah-rempah yang memiliki bau menyengat untuk "menyaring" udara yang mereka hirup.

Beberapa dokter bahkan melangkah lebih jauh dengan menggigit bawang putih sambil memakai topeng ketika sedang memeriksa pasien Maut Hitam.

3. . Menyalakan api yang besar

Ketika perlindungan pribadi tidak cukup, pemerintah lokal pada Abad Pertengahan akan berusaha untuk mengusir penyakit dengan mengubah udara kota (masih berhubungan dengan teori miasma). Salah satu caranya adalah dengan menyalakan api unggun besar, di mana asapnya dianggap akan membersihkan udara seluruh kota.

Ketika Wabah Besar tahun 1665 menghantam London, sang walikota memerintahkan agar semua penduduk kota mengeluarkan benda-benda yang mudah terbakar untuk mempertahankan nyala api selama tiga hari tiga malam secara berturut-turut.

Melansir dari buku The Plague and the Fire, jalan-jalan kota London pada saat itu tetap kosong selama hari "pembersihan" tersebut, hanya diisi oleh orang-orang yang menyalakan api dan menjaga agar percikan api tidak membakar rumah-rumah di sekitarnya.

Sayangnya, seorang penulis diari bernama Samuel Pepys mencatat kalau api pembersihan itu justru membakar seluruh kota London pada tahun berikutnya.

4. Membunuh kucing 

Selama peristiwa Wabah Besar, pemerintah kota London juga melakukan pemusnahan kucing dan anjing dalam skala besar. Seperti yang kita ketahui, wabah ini disebarkan oleh tikus dan kutu. Jadi tanpa kucing dan anjing untuk menekan populasi tikus, tindakan ini justru semakin memperparah kondisi wabah pada saat itu.

Dalam jurnal Killing the Cats yang diterbitkan oleh Universitas Washington, Walter G. Andrews menyebutkan kalau sampai abad ke-18 di Prancis, kucing-kucing sering ditangkap ke dalam jaring atau kandang lalu diangkat ke atas api dan dibakar sampai mati. Menurut mereka, abu kucing dianggap sebagai perlindungan yang kuat terhadap sihir dan pembawa keberuntungan.

5. Mencambuk diri sendiri

Pada masa Yunani kuno, mereka yang terkena wabah percaya kalau Dewa Apollo telah menembak mereka dengan panahnya yang tak terlihat. Namun pada Abad Pertengahan, bukan Apollo yang menyebarkan penyakit. Sebaliknya, Tuhan Kristen lah yang telah menghukum mereka karena dosa-dosa mereka.

Sebagaimana dijelaskan dalam laman Eye Witness to History, praktik ini sangat dekat dengan kaum flagela (flagellant), sekumpulan orang yang berpikir kalau cara terbaik untuk membebaskan diri dari penyakit adalah dengan menghukum tubuh mereka yang berdosa.

Di seluruh pelosok Eropa pada Abad Pertengahan, kaum flagela sering berkumpul untuk mencambuk diri sendiri sampai tubuh mereka berdarah-darah. Pada tahun 1349, kelompok ini tiba di London dan langsung melakukan ritual "pembersihan" di sana.

Di tahun yang sama, Paus Klemens VI mengeluarkan bulla kepausan untuk melarang tindakan para flagela, karena mereka telah mengambil hak Gereja untuk mengampuni dosa-dosa mereka ke tangan mereka sendiri dan membuat kerumunan orang sehingga mempercepat penyebaran wabah itu sendiri.

6. Mengonsumsi merkuri, tanduk "unicorn" dan endapan batu dari perut kambing

Efek placebo memang luar biasa. Lewat efek ini, kita percaya kalau obat dapat menyembuhkan penyakit kita. Ternyata, efek placebo juga telah terlihat sejak Abad Pertengahan, tepatnya ketika para dokter meresepkan ramuan "eksotis" untuk pasien-pasien mereka.

Di Eropa pada Abad Pertengahan, rempah-rempah dari negeri yang jauh (India, Indonesia, Tiongkok) dihargai karena kemanjuran obatnya. Pada abad ke-17, obat-obatan impor seperti ini masih disukai oleh mereka yang mampu membelinya.

Salah satunya adalah merkuri, yang digunakan oleh para peracik obat pada masa itu. Lebih parahnya lagi, mereka juga membuat obat dari "tanduk unicorn" yang dihancurkan. Besar kemungkinan kalau tanduk ini adalah tanduk paus narwhal (paus bertanduk) yang juga sering disebut sebagai unicorn laut.

Selain kedua bahan itu, ada bahan lain yang lebih tidak masuk akal. Melansir dari jurnal Treatments for Bubonic Plague, dokter pada Abad Pertengahan juga memakai bezoar (batu yang ditemukan di dalam perut kambing atau hewan lain) sebagai obat yang tepat untuk menyembuhkan Maut Hitam.

7. Menempelkan ayam hidup pada luka yang basah

Pada abad ke-17, salah satu obat yang terkenal untuk menyembuhkan Maut Hitam adalah daging ular yang dijadikan tablet hisap. Untuk membuatnya, beberapa dokter menyarankan daging ular derik. Terkadang, mereka juga menggunakan daging ular yang masih hidup.

Seperti yang kita ketahui, Maut Hitam sendiri menandai korbannya dengan kelenjar getah bening yang membengkak dan akhirnya berubah menjadi hitam. Tentu saja, luka ini sangat menyakitkan jika disentuh. Jadi, untuk menyembuhkannya, seorang dokter Austria yang hidup pada tahun 1494 menawarkan sebuah solusi yang tidak masuk akal.

Mengutip dari jurnal The Live Chicken Treatment for Buboes, berikut metodenya:

"Ambil beberapa ayam jago muda yang masih hidup, cabut bulu-bulu di sekitar duburnya, lalu tempatkan dubur ayam di atas luka yang membengkak sampai ayam tersebut mati. Ulangi dengan ayam hidup lainnya sampai hanya tersisa satu ayam yang masih bertahan hidup."

Pada awal 1500-an, Inggris menerapkan kebijakan pertama untuk memisahkan dan mengisolasi warga sakit. Rumah-rumah yang dirasa memiliki wabah ditandai dengan tali jerami pada tiang di luar rumah. Jika memiliki anggota keluarga yang terinfeksi, makan Anda harus membawa tiang putih ketika keluar rumah. Anjing dan kucing yang dianggap berpotensi membawa penyakit pun dibunuh secara massal.


Referensi

^ Egypt – Major Cities, U.S. Library of Congress

^ Snell, Melissa (2006). "The Great Mortality". Historymedren.about.com. Diakses 2009-04-19

^ Richard Wunderli (1992). Peasant Fires: The Drummer of Niklashausen. Indiana University Press. hlm. 52. ISBN 0-253-36725-5.

^ J. M. Bennett and C. W. Hollister, Medieval Europe: A Short History (New York: McGraw-Hill, 2006), p. 329.

^ a b David Nirenberg, Communities of Violence, 1998, ISBN 0-691-05889-X.

^ R.I. Moore The Formation of a Persecuting Society, Oxford, 1987 ISBN 0-631-17145-2

^ a b Black Death, Jewishencyclopedia.com

^ "Jewish History 1340–1349".


2 comments:

  1. Terima kasih kak.. sy sangat bersyukur, enggak kebayang kondisi pandemi dulu bisa dilalui dgn baik. Tentunya pandemi covid ini dapat kitab lalui bersama

    ReplyDelete