Friday 4 September 2020
Friday, September 04, 2020

AROMA KARSA KEMATIAN

 


Bogor, 3 September 2020

 

Mungkin tak banyak kisah yang mampu terungkap pada setiap bagian kehidupan. Ada bagian yang harus terpendam atau hanya sekedar memercikkan sedikit saja kemilaunya agar terlihat seperti ada. Setelah ada, kehadirannya akan dianggap sebagai bagian dari kisah itu sendiri. Kali ini mungkin aku tak mampu lagi memprakarsai kuasa tubuhku untuk sekedar diam. Ia terus beraksi dari hari ke hari. Ada atau tanpa ada reaksi tetap saja menunjukkan sebuah pergerakan meskipun dalam diam. Setiap yang terpendam bisa saja tidak terlihat. Padahal bagian terdalam yang memendam itu ingin sekali mencuat ke permukaan.

Kali ini aku asik menikmati setiap aliran syaraf bergerak mengejang ke seluruh tubuh. Pada lain waktu, alirannya hilang dan mati saja sudah cukup. Betapa mengerikan setiap aroma kematian itu mendekat, bulu kuduk tak lagi merinding. Bukannya tak takut mati. Tetapi setiap waktu gambaran kematian itu selalu menghampiri dalam angan yang terus melayang. Langkah kaki yang begitu cepat terkadang menyebabkan badan yang tegak harus menukik. Menghujam dan menghunuskan ribuan dera dalam tanah. Untuk sekedar menyadarkan diri bahwa tanah adalah hidup yang ternyaman.

Setelah nyamannya hilang ia akan bergolak. Lebih dari sekedar mendidih. Alunan dawai sholawat masih terdengar lirih meski jiwa terus saja merintih. Andai kata harus ada sebuah titik temu dengan Sang Maha Kehidupan, adakah yang bisa menggantikan selain diriku sendiri? Pikirku lucu sekali ketika bagian-bagiannya mulai dipritili oleh kesombongan hati. Mulai merasa benar sendiri, egosentris, skeptis, terus saja mencari pembenaran diri sendiri agar tetap diakui. Kalimat-kalimat yang katanya muhasabah, evaluasi mulai bertawaf didepan keningku. Bukan hanya pening saja, tetapi rasanya ingin melempar jumroh. Dasar setan! Setiap waktu mereka selalu berkelindan.

Ayo turun! Sini kita duel bersama! Kapan sih aku pernah menyaksikan setiap untaian kata yang terus berputar ini berhenti? Kali ini aku takkan tidur di tanah dengan nyaman. Harus kupastikan dulu kau yang mati setelah kulempari bebatuan dari bahan bakarmu sendiri. Ngeri kan? Tidakkah kau merasa takut? Sekarang aku hanya ingin mengajarimu caranya mati. Duduklah kawan! Jangan terus menghantui dengan ribuan kalimat-kalimat dalih muhasabah. Padahal kamu sendiri tidak tahu apa itu muhasabah? Sejauh apa kalimat itu terus menapaki kehidupanmu? Apa yang dia bawa saat kau hidup? Lalu setelah mati, apakah ia tetap bersanding dan memberi yang terbaik?

Siapkan buku dan pulpen sekarang juga! Kita akan belajar tentang sebuah hakikat dari kematian agar kau tahu bagaimana aku menjadikan kematian itu sebagai hal yang berharga dalam hidupku. Menjadikannya kawan sejati yang tak pernah meninggalkanku. Ia selalu berada didepan belakang, kanan kiri, atas bawah. Kapanpun, ia akan siap mengajakku pergi. Membiarkan jasad tak lagi berarti. Santapan cacing tanah dan bersemayam ditengah tanah yang dulunya nyaman.

Hei... Sekarang ia tak berada didepan belakang, kanan kiri, atas bawah? Benarkah ia telah mengajakku pergi? Benar, ternyata saat aku telah dalam keterpurukan dan lemahnya fisik, aku melihat dia datang diantara kedua cahaya. Sempat terucap kalimat, “Nanti saja kawan! Aku ingin mengabarkan dulu kepada sanak keluarga agar mereka menghantarkan jiwa dan rohku dalam sebaik-baiknya tempat”

Ia menarik dengan begitu cepat sebelum aku sempat berpamitan. Aku gusar memperhatikan sahabatku didunia begitu teduh. Jangan-jangan dia tidak pernah bersanding denganku tetapi hanya sekedar meneruskan bayangan-bayangan yang ada menjadi nyata? Kupejamkan mata, seakan segalanya akan tertunda. Angan menjadi bayangan yang tertebak oleh segalanya. Kuraih sedikit saja bagian dari diri ini yaitu ego. Kubunuh ikut mati. Rasa kubekukan agar tak ada lagi. Mendidih kubiarkan menjadi beriringan dengan diri. Jiwa kubiarkan saja menemui cahaya yang itu. Tak terasa aliran darah mengaliri syaraf-syaraf. Tak ada lagi otot-otot yang menopang tegak tubuh ini. Tak pernah ada kuasa apapun terhadap diri. Kini tiada lagi...

 

Semua sirna. Aku kira saat mata terbuka akan ada bola besi raksasa yang akan menghantamku agar luluh lantah dan musnah. Ternyata tak ada semuanya, yang ada hanyalah kekosongan. Hampa tanpa ruang. Aku telah tiada. Jika demikian, antarkan saja secarik kertas ini agar semua tahu jika semuanya telah tercatat. Setelah dibuka, ternyata aku menkonversi diri dalam pesan kalimat yang membuatku pening selama ini. Kini aku hanya menjadi bagian yang akan dilempari dengan jumroh. Berputar-putar didepan kening setiap orang yang lupa akan sebuah aroma karsa kematian. Mari bersiap! Kita sambut setiap ajal itu datang!

 

Sri Patmi

****

0 comments:

Post a Comment