Thursday 3 December 2020

PUISI SRI PATMI : MANUSIA SISA PANDEMI


 


Aku berlari menerjang menghunuskan pedang tajam.

Menyadarkan setiap insan bahwa dunia tak sedang bersenda gurau.

Badai lebat meluluhlantahkan keangkuhan diri yang merasa hebat.

Membusungkan perut, mengempeskan rongga dada.

Mematahkan sayap-sayap dunia untuk terbang bebas.

Hidungnya diberangus, kaki-kakinya dikekang hingga pupus.

Dua garis tipis kehidupan dan penghidupan.

Bulu kuduk seakan merinding, sentuhan kini hanya menjadi barang yang tabu.

Ibu pertiwi menangisi apa yang terjadi?

Bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi.

Segala intrik dipergunakan untuk mengakali diri.

Mensiasati agar perut tak kosong, akal budi hanya perlu memaklumi.

Ibu pertiwi, kesejatianmu telah direnggut, dirampas oleh pandemi.

Kau bergelut dengan segala kemelut.

Aku miris, karena kulitmu terus disayat teriris-iris.

Ditelanjangi dengan ego yang tak pernah merasa bersyukur

Andai ketamakan tak pernah merajai, mungkin semesta ini akan terus menghargai.

Meski tangan tak mampu lagi menjabat, izinkan kami merapikan barisan dan merapat.

Kemarilah ibu pertiwi! Biar kukenakan jubah kebesaran yang kusulam dari benang emas.

Kusihir catatan tinta merah menjadi singgasana megah.

Kesinilah wahai kawan-kawan! Menemui pandemi tak tahu diri.

Dia harus menampar diri sendiri agar sadar.

Faktanya selama ini kita sudah cukup bersabar.

Mari bersama-sama dibantai dan hajar!

Tak usah menunggu gelap. Ayo seret pandemi keluar dari dunia sebelum ia nyaman dan terlelap.

Enyah dan pergilah! Segera kemasi barang-barangmu sebelum kami kalap! 

Dia tak tahu jika bumi dan ibu pertiwi yang tulus telah meletus.

Lava panas akan meluluhlantahkan pandemi hingga hangus.

Mencabut bagian nadi dipermainkan dan digoreng dalam dinginnya api.

Tak menyisakan sedikit pun bentuk tulang sulbi.

Dan ingatkan kepada kami, jika lupa menyebut apa nama pandemi ini?

 

Segelintir asa terus berkembang bak merekahnya bunga yang ranum diakhir jaman.

Kemilaunya terus saja berkembang diantara rerumputan yang menari dan bergoyang.

Kami hanya setetes air ditengah samudera yang luas.

Mengharap semesta menampatkan kasih dan terus berbelas.

Menempatkan setiap kalimat ikhlas terus berbalas.

Menggantikan setiap ratap menjadi menjadi harap.

Setiap rahap menjadi asa yang terus menyelinap.

Mengharap semesta riang, alam kembali girang.

Kembali menjejak tanpa takut terinjak.

Jeritan lapar berganti menjadi bahagia yang tersiar.

Melihat senyum yang berkembang di pagi yang ranum

Memandang ratapan anak kecil bernyanyi, berlari tuk meraih segenggam mimpi.

Bergulir melalangbuana, membawa raga berkelana tanpa jarak yang berarti.

Hingga waktu terus melukis senja, berganti cerita lagi.

 

 

Bogor, 3 Oktober 2020

0 comments:

Post a Comment