Ketika dua insan saling mencintai, ungkapan rasa itu
merupakan bahasa cinta yang selalu dinanti. Dua manusia ini saling mencinta,
namun mereka tak percaya rasa itu ada. Keterbatasan bahasa cinta telah membuat
mereka tak saling bicara. Jemarinya bersiap menekan tuts angka yang selalu
bermain dalam imajinasinya. Detak jantung makin tak menentu, terdengar suara
nada sambung, sesaat kemudian terdengar jawaban “Hallo”.
Mukanya pucat pasi, dirundung rasa cinta yang
terkungkung dalam sebuah gengsi. Mereka mulai melontarkan kalimat – kalimat
kerinduan. Ia berusaha membendung rasa rindunya dan selalu mendengar celoteh
yang membuat hidupnya berwarna. Ketika mereka bersama, selalu terukir kisah
dalam ujung pena. Namun, kisah itu hanya tertumpuk dalam surat
– surat yang
tak pernah sampai kepada penerimanya. Coleteh itu terputus oleh sebuah kalimat.
“Untaian namamu selalu
terselip dalam doa dan harapan untuk bersama”.
“Aku tahu kamu seorang
idealis yang banyak pertimbangan, tapi apakah kamu tahu rasa sakitnya menanti
hal yang tak pasti?”
“Apakah kamu pernah
memposisikan dirimu seperti diriku? Yang selalu memperjuangkanmu tanpa henti
namun tak pernah dihargai? EGOIS!!” ucapnya dengan
penuh emosi, seakan rasa sakitnya akan terobati dalam perbincangan 12.000
detik.
Perasaannya makin tak terkendali, untaian bahasa cinta
telah terangkai dalam memori otaknya. Pada hitungan detik ke – 11.700, keduanya
terdiam. Mereka gusar, seakan rasa cinta tak mampu terungkap oleh untaian kata.
“Kini aku berharap doaku
untuk bersamamu terwujud dalam hitungan 600 detik. Karena cinta itu sederhana,
dua hati yang tak saling percaya, namun mencoba bersama dan saling menerima”.
“Mohon maaf, aku berharap
kita mengakhiri perbincangan kita dalam hitungan 1 menit 30 detik dan bukalah
pintu rumahmu!”.
Ia segera berlari, mengatur nafasnya yang terengah – engah dan membuka pintunya perlahan.
Sesaat kemudian, sebuah mobil SUV berhenti didepan
rumahnya. Turun sosok lelaki tampan berbadan seperti seorang penderita skizophrenia,
ia membawa seikat bunga. Betapa bahagianya, setelah satu tahun mempersiapkan
mentalnya untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu.
“Hallo Syabilla” sapa hangat lelaki itu.
“Ha .. Ha … Hallo Reynaldi” jawabnya sedikit gugup dan bahagia.
Seikat bunga itu diberikan kepada Syabilla.
“Terima kasih ya, Rey?”
Seikat bunga itu bagai sebuah pertanda baik, terbukanya pintu
harapan untuk bersama.
“Iya sama – sama. Oh iya, aku lupa menceritakannya padamu, perkenalkan sosok wanita cantik yang berjalan kemari adalah calon pendamping hidupku, jika berkenan, datanglah ke acara pernikahan kami”.
“Hallo Syabilla, mohon
datang ke acara pernikahan kami ya?”.
“Congrats ya Qinan dan
Reynaldi” ujarnya dengan menahan rasa kecewa dan
nampak terlihat bahagia dihadapan mereka.
Seiikat bunga itu hanya menjadi hiasan ditempat sampah berikut dengan undangan pernikahan Reynaldi Saputra dan Qinan Permata. Meskipun tumpukan
Inspired by true story
SP
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.