MENANTI SECERCAH HARAPAN
Hati pilu
seperti tersayat sembilu. Semakin hari, makin membeku. Bibir yang biasa berucap
makin membisu. Tubuhku semakin kaku diterpa dinginnya malam yang bercampur haru
biru.
Berjalan
kedepan menghitung langkah. Mata tertuju pada satu arah. Silau menyaksikan
cahaya yang membuat mataku semakin jengah. Kuraih cahaya itu penuh gairah.
Namun, apa daya, tubuhku tersungkur bersimbah darah. Keterbatasan ini membuatku
menyerah. Kakiku terasa lelah, akankah aku berhenti atau berbalik arah?
Engkau
laksana sebongkah gunung es ditengah hamparan lautan yang luas. Mencintaimu
bagaikan menghirup oksigen tanpa batas. Aku dan engkau dipisahkan oleh tipisnya
sekat pembatas. Membran tipis yang mudah diretas.
Pasir –
pasir di pantai seolah – olah berlari mengikuti ombak dan hilang. Hari demi
hari, hanya kupandangi puncak gunung es itu tanpa kutahu keindahan proses
penciptaan Tuhan akan alam semesta ini?
Kuhirup
oksigen di udara, masuk kedalam paru – paru, memompa jantung hingga merasuk
kedalam nadi. Aku takut jika suatu saat oksigen berhenti mengalir dalam setiap
aliran darahku. Perlahan, kakiku hilang dalam derasnya ombak dipinggir pantai.
Bibirku berucap “ Jalan .. terus berjalan! Hirup oksigen dan rasakan!”.
Ketika
kuhirup oksigen itu, apa yang kurasa? Tersedak dan menyakitkan. Bulir – bulir
air laut masuk kedalam paru – paruku dan membuatku sulit bernapas. Tanpa
kusadari, aku telah berhasil menyelami lautan yang membatasiku untuk memandangi
keindahan gunung es itu seutuhnya.
Kubuka
mataku, perih terasa ketika air laut itu menyentuh kornea mataku. Ombak seakan
berbisik “ Teruslah menyelam dan lihatlah keindahan dasar laut ini dengan
hatimu!”
Hatiku
tersentak kaget dan takjub melihat pemandangan yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Kehadiranku disambut gembira jutaan biota laut, ikan – ikan itu
riang menari dan rumput laut bergoyang menunjukkan kegembiraan.
Keindahan
ini menawarkanku pada dua kenyataan hidup yang pahit, hidup atau mati? Semakin dalam aku menyelam, semakin sulit untuk
kembali ke permukaan dan semakin dekat pada kematian.
Sungguh Keindahan yang menyesakkan dada! Muncul
pertanyaan retorika “Sampai kapan aku
bertahan didasar laut ini? Apakah aku harus menunggu gunung es itu meleleh dan
aku akan melihat gunung es itu seutuhnya dari dasar laut?”.
Hatiku
menjerit “Dimana oksigen yang menjadi sumber penghidupan bagiku bahkan seluruh
makhluk hidup didunia ini? Mengapa aku bertahan didasar laut ini untuk hal yang
tak pasti?”.
Tubuhku
melayang, antara hidup dan mati. Tiba – tiba oksigen merasuk kedalam setiap
aliran darahku dan memberikan energi untuk bangkit.
Kudengar
bisikan lirih “Aku hidup untukmu,
untukmu aku hidup. Rasakan kehadiranku dalam hidupmu, dan hiduplah untuk
hidup!”
Terdengar
seperti sebuah majas hiperbola menjelang sakaratul maut. Namun, hatiku mengkal
dan berbalas mengucap “Aku mencintaimu
dengan caraku sendiri dan biarkan aku hidup untuk cinta serta cintailah
hidup!”.
Inspired
by true story
SP
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.