Friday, 4 December 2020

GARA-GARA COVID, LANGIT BIRU, DOMPET MEMBIRU

 



Pandemi COVID-19 sudah berjalan selama hampir satu tahun. Efek domino pada akhirnya melumpuhkan segala lini kehidupan. Bahkan diperparah dengan adanya penurunan kualitas diri akibat beban mental yang belum berkesudahan. Manusia dikungkung, dibatasi, diberi jarak, menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Sana sini bicara pandemi. Kehidupan yang lain mengharuskan mereka tetap bergerak disaat bumi yang berputar ini seakan terhenti.

Sebagian besar dari mereka mengalami hal terburuk yang tidak pernah diduga dalam hidupnya. Sedang asik bekerja, mendapat pengumuman PHK. Miris, seakan dunia terhenti dan drop total akan terjadi jika tidak ada keyakinan dan harapan yang meneguhkan dan mengukuhkan. Jelas... Selama ini tidak pernah terpikir ini semua akan terjadi ditengah keadaan yang sedang baik-baik saja. Manusia berlenggang sebebas mungkin, berulah sesuka hati, menikmati kehidupan ini dengan penuh hawa nafsu yang dibawa dari perut. Nafsu kekuasaan, kekayaan dan kejayaan apapun caranya. Manusia melakukan intrik dan berpolitik untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara. Sudut pandang benar dan salah pada akhirnya menjadi sebuah objek yang bersifat sementara.

Disusul dengan upaya penyelamatan diri masing-masing pada akhirnya dilakukan. Alih-alih  penyelamatan untuk kepentingan umum, hal ini didasarkan pada penilaian subjektif semata. Hakikat sejatinya adalah penyelamatan terhadap diri sendiri. Rintih tangis, jeritan lapar dimana-mana. Bersyukur dalam kondisi seperti ini, pemerintah tetap menjaga stabilitas ketahanan pangan. Selama pandemi ini, kata bansos sudah sering terdengar melalui media dan perbincangan mulut ke mulut. Bantuan tersebut menjadi angin segar untuk perekonomian makro dan mikro khususnya.

Korban PHK atau yang dirumahkan hanya mampu menikmati kesedihannya di rumah. Karyawan yang mengundurkan diri hanya berharap cemas terhadap Uang Penggantian Hak (UPH) yang akan mereka terima. Menanti keputusan yang digantung. Semuanya kebingungan pontang panting tak tentu arah. Kerja membabi buta, lesu dan layu. Kemerosotan mental dan psikologis. Tekanan depresi dan stress menghantui. Jika sudah kepepet tidak ada pilihan lain selain bertahan hidup dengan berbagai cara. Mengambil hak orang lain akan dilakoni.

Seperti sebuah hal yang dimulai dari awal lagi. Motivasi yang melemah, pergerakan diri semakin lambat. Susunan kosmos dan syaraf mengatur ulang semuanya. Mengembalikan kemurnian alam ini secara perlahan. Tengok saja disekitar kita saat ini, mayoritas tetangga dan kerabat memiliki hobi dadakan berupa berkebun, bercocok tanam dan menekuni dunia pertanian. Bahkan mereka yang tidak memiliki modal sama sekalipun, bercocok tanam dengan bibit dan benih yang ada di dapur. Seperti cabai, bawang, tanaman apotek hidup. Bahkan ada yang berlomba-lomba untuk mendapatkan jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi saat ini. Masuk keluar kawasan hutan lindung dan konservasi. Mengabaikan setiap ekosistem didalamnya dijaga agar siklus mata rantai tidak terganggu. Beragam jenis tingkah polah manusia. Tetapi essensi dari kehidupan yang berjalan dimasa pandemi ini adalah purifikasi atau pemurnian nilai alam semesta.

Perubahan kecil tetapi mengembalikan essensi hitam kelam menjadi biru. Mobilisasi kendaraan berasap berkurang karena sebagian besar melakukan aktivitasnya di rumah saja. Angin segar mulai terasa dimana-mana. Hawa panas tetap ada tetapi tidak menyengat dan masih memberikan kesejukan. Masih terasa angina sepoi-sepoi yang menghantarkan ketulusan dan kemurnian dunia ini. Penghijauan terjadi dimana-mana. Mereka berlomba mencari bibit dan benih tanaman untuk ditanam di rumah. Merasakan seni bercocok tanam. Melihat proses bertumbuhnya saja sudah memberikan sense yang berbeda. Merasakan kedamaian kecil bertumbuh ditengah keluarga, ranjang ternyaman untuk pulang dan kembali dari penatnya rutinitas kehidupan.

Pandemi memang memberikan dampak yang sangat mondial. Semuanya terhenti secara massif. Entah sampai kapan, kita bukan ahli untuk meramalkan dunia ini. Penurunan motivasi dan semangat hidup karena tekanan psikologis meraja dimana-mana. Hakikatnya ketika pandemi seperti ini tetaplah bergerak produktif. Menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Hakikatnya, setelah dunia ini terhenti, pada siapa kita akan bergantung? Orang yang bekerja bergantung pada atasan? Atasan bergantung pada siapa? Secara umum, bisnis layu cenderung mati. Salah satu bidang usaha yang bangkit adalah agrobisnis. Pada Sang Kehidupan ini kita akan kembali bergantung, Sang Pencipta jagad raya yang agung.  

Jika diambil kesimpulan secara sederhana, purifikasi atau pemurnian terhadap alam ini sedang terjadi secara alami. Seluruh elemen kehidupan bersatu untuk menjalankan roda yang terhenti untuk bergerak kembali. Cahaya matahari mulai masuk dalam tulang sumsum. Merasuk dalam tubuh manusia agar bersatu dengan alam itu sendiri. Alam yang dulu diabaikan bahkan tak tersentuh sama sekali. Manusia hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri. Alam akan diingat karena faktor butuh saja. Setelah itu akan diabaikan kembali. Merusak setiap hari, urusan memelihara sudah tak ada yang peduli. Yuk coba tengok kembali! Masukkan dan tarik lagi kedalam diri kita! Sudah seberapa besar kepedulian kita terhadap alam?

Sudahkah bersyukur terhadap segala pemberian alam yang selalu terlupakan? Meski setiap hari kita berada di kota metropolitan, penuh debu, asap kendaraan, dan polusi. Udara yang kita hirup dan masuk kedalam rongga dada tetap hidup sampai dengan saat ini. Dalam yang tercemar selalu diberikan udara yang murni untuk konsumsi manusia. Dinikmati tanpa harus mengantri di kasir untuk menerima struk dan membayarnya. Manusia terlalu pongah dengan kedikdayaannya. Dipenuhi nafsu serakah sana sini untuk menimbun pundi-pundi rejeki milik sendiri atau milik orang lain. Satu sisi, bingung mau belanja apa lagi? Sudut yang berseberangan, bingung tidak ada uang untuk belanja. Jika mau berhitung dari manapun asalnya rejeki itu sampai di tangan kita, takkan pernah sanggup rejeki itu terlogikakan oleh akal pikir manusia. Manusia saja terlalu sombong dibekali dengan logika yang tak punya makna. Masih saja dijejali kesesatan yang tidak disadari akibat konsep berpikir dicampur-campur dorongan nurani, pikiran, logika dan jiwa. Benang merah kehidupan sudah dibentangkan. Tetapi tak ada yang menyadarinya.

Saya masih terharu saja dengan kondisi yang saat ini terjadi masih saja bisa menikmati padi yang ditanam di tanah sendiri. Padahal logisnya, sudah tidak ada uang, tidak makan. Itu jika berbicara dengan manusia logika ya? Kan kita hidup tidak bersama dengan manusia saja, kita hidup berdampingan dengan sisi nonfisik yang tak terlihat. Sudah waktunya yang biru kembali dibirukan. Bagian yang membiru biarkan membiru, merasakan sakitnya memar yang tercemar. Menikmati spekulasi hidup yang masih samar-samar. Hanya menantikan tempayang berisi sabar mulai menyebar. Menikmati hakikat hidup, menanti woro-woro tersiar.

 

***


Thursday, 3 December 2020

PUISI SRI PATMI : NEGARA ZAMRUD KHATULISTIWA

 



Negara zamrud khatulistiwa

Permadani hijau memukau mata

Rukun erat tanpa diikat

Tali temali ragam adat

 

Berbeda saling bersanding

Berjalan bersama saling beriring

Seperti tekad bambu runcing

Mengusir mesiu tak kalah tanding

 

Inilah negeri archipelago idaman para penjajah

Kekayaannya yang berlimpah ruah

Bergelimang emas bertahtakan berlian mewah

Hati siapa takkan terperangah?

 

Terima kasih ibu pertiwi

Bumimu telah memberi hidup untuk negeri ini

Airmu yang kami minum setiap hari

Bodohkah kami jika tidak mencintai negeri ini?  

 

Walau jiwa terpisah dari jasad

Meski bumi tak lagi mampu kudekap erat

Biarkan merah putih tertanam dalam diri

Dan hidup damai dalam buaian ibu pertiwi

 

Tangerang, 31 Agustus 2019


PUISI SRI PATMI : KELABU NEGERI BESI


 

Beton berkuasa atas tanahku

Membentang luas diatas ragamu

Pancung besi menghujam tajam

Menusuk bumi hingga ke nadi

 

Pohon tertunduk lesu

Dulu kau begitu merdu

Hijau memanja mata yang memandangmu

Biru menyemak memeluk kalbu

 

Kini biru jadi abu

Hijau jadi kelabu

Lembayung memerah berdarah

Negeriku hilang tinggal sejarah

 

Kasih kini jadi amarah

Geram merajalela

Kearifan kalah melemah

Egoisme liberalis berkuasa

 

Hilang kini semua sirna

Tercabik indahnya ibu pertiwi

Oleh kita yang men-Tuhan-kan teknologi

Ibu pertiwi seakan mati

 

Tangerang, 29 Agustus 2019

PUISI SRI PATMI : MANUSIA SISA PANDEMI


 


Aku berlari menerjang menghunuskan pedang tajam.

Menyadarkan setiap insan bahwa dunia tak sedang bersenda gurau.

Badai lebat meluluhlantahkan keangkuhan diri yang merasa hebat.

Membusungkan perut, mengempeskan rongga dada.

Mematahkan sayap-sayap dunia untuk terbang bebas.

Hidungnya diberangus, kaki-kakinya dikekang hingga pupus.

Dua garis tipis kehidupan dan penghidupan.

Bulu kuduk seakan merinding, sentuhan kini hanya menjadi barang yang tabu.

Ibu pertiwi menangisi apa yang terjadi?

Bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi.

Segala intrik dipergunakan untuk mengakali diri.

Mensiasati agar perut tak kosong, akal budi hanya perlu memaklumi.

Ibu pertiwi, kesejatianmu telah direnggut, dirampas oleh pandemi.

Kau bergelut dengan segala kemelut.

Aku miris, karena kulitmu terus disayat teriris-iris.

Ditelanjangi dengan ego yang tak pernah merasa bersyukur

Andai ketamakan tak pernah merajai, mungkin semesta ini akan terus menghargai.

Meski tangan tak mampu lagi menjabat, izinkan kami merapikan barisan dan merapat.

Kemarilah ibu pertiwi! Biar kukenakan jubah kebesaran yang kusulam dari benang emas.

Kusihir catatan tinta merah menjadi singgasana megah.

Kesinilah wahai kawan-kawan! Menemui pandemi tak tahu diri.

Dia harus menampar diri sendiri agar sadar.

Faktanya selama ini kita sudah cukup bersabar.

Mari bersama-sama dibantai dan hajar!

Tak usah menunggu gelap. Ayo seret pandemi keluar dari dunia sebelum ia nyaman dan terlelap.

Enyah dan pergilah! Segera kemasi barang-barangmu sebelum kami kalap! 

Dia tak tahu jika bumi dan ibu pertiwi yang tulus telah meletus.

Lava panas akan meluluhlantahkan pandemi hingga hangus.

Mencabut bagian nadi dipermainkan dan digoreng dalam dinginnya api.

Tak menyisakan sedikit pun bentuk tulang sulbi.

Dan ingatkan kepada kami, jika lupa menyebut apa nama pandemi ini?

 

Segelintir asa terus berkembang bak merekahnya bunga yang ranum diakhir jaman.

Kemilaunya terus saja berkembang diantara rerumputan yang menari dan bergoyang.

Kami hanya setetes air ditengah samudera yang luas.

Mengharap semesta menampatkan kasih dan terus berbelas.

Menempatkan setiap kalimat ikhlas terus berbalas.

Menggantikan setiap ratap menjadi menjadi harap.

Setiap rahap menjadi asa yang terus menyelinap.

Mengharap semesta riang, alam kembali girang.

Kembali menjejak tanpa takut terinjak.

Jeritan lapar berganti menjadi bahagia yang tersiar.

Melihat senyum yang berkembang di pagi yang ranum

Memandang ratapan anak kecil bernyanyi, berlari tuk meraih segenggam mimpi.

Bergulir melalangbuana, membawa raga berkelana tanpa jarak yang berarti.

Hingga waktu terus melukis senja, berganti cerita lagi.

 

 

Bogor, 3 Oktober 2020

Wednesday, 2 December 2020

PUISI PERDAMAIAN : MANUSIA ADU KEPENTINGAN



Alunan dawai kehidupan masih saja terdengar memar

Perlahan suaranya memudar diterpa letupan asap yang tersebar

Aroma kematian terasa mendekat dan kian menyebar

Bulu kuduk merinding dan nyali yang berkembang mulai bubar.

Lantunan sholawat terdengar lirih meski jiwa terus saja merintih.

Andai kata ada titik temu dengan kematian, adakah yang bisa menggantikannya selain aku sendiri?

Pikirku lucu sekali, ketiak setiap bagiannya mulai dipritili oleh kesombongan dan pembenaran diri.

Aku telah belajar tentang hakikat kematian.

Kesinilah! Agar kuberitahu bagaimana caraku menjadikan kematian sebagai hal berharga dalam hidupku

Menjadikannya kawan sejati yang tak pernah meninggalkanku.

Kami hanya ingin agresi segera diakhiri.

Bukan sebuah nyanyian merdu pelipur kesakitan diri.

Bukan hanya janji-janji yang digaungkan para penguasa bodong.

Kibarkan panji-panji perdamaian dunia untuk jeritan manusia yang meminta tolong.

Gembar gembor tentang projek kemanusiaan

Sejatinya pepesan kosong tak ada pemaknaan.

Ketika kalimat damai diperjualbelikan

Jadi senjata bagi para aktor yang berlaga

Mempertontonkan kekuasaan beradu kepentingan

Bertopeng kemanusiaan, bermuka beringas manusia buas.

Menopang kemanusiaan, menggilas kepentingan.

Bogor, 3 Oktober 2020